“Fan, kamu nggak apa?” aku bergeming saja saat
Antho memanggil namaku. Aku masih terpaku dengan pandangan mataku ke luar
mobil, sementara kedua tanganku mencengkeram setir dengan kuat.
“Sejak kapan mereka berdua seperti itu, Tho?”
“Kamu tenang dulu deh, Fan, mungkin ini nggak
seperti yang kita lihat. Mungkin ini cuma bentuk keakraban mereka saja sebagai
sahabat. Kamu jangan emosi dulu, Fan.”
Aku berpaling dan memandang Antho. “Tho, aku
tanya, sejak kapan mereka berdua seperti ini? Tolong jangan sembunyikan apa pun
yang kamu ketahui dari aku, Tho.”
Antho menghela napas sebelum menjawab, “Nggak
lama setelah kamu berangkat ke Bangkok, Fan, kira-kira sebulanan setelah itu.”
_____
“Sayang, kamu yakin kita sanggup LDR-an? Nggak
gampang lho, sayang.”
“Terus mau kamu gimana? Kita putus? Tapi aku
sayang banget sama kamu, Fandi .. Cuma dua tahun, kan? Aku akan menunggu, kita
pasti bisa, sayang.” Nadamu terdengar merajuk saat kita makan malam di restoran
favorit kita. Restoran yang menyajikan sirloin
steak terlezat di penjuru kota ini.
Aku merasa berat sekali harus mengabarkan kalau
kita akan terpisah dua negara karena pekerjaanku. Perpisahan bukanlah hal yang
aku inginkan dari hubungan kita, namun untuk membayangkan nggak bisa ketemu
kamu dalam kurun waktu tujuh ratusan hari saja sudah membuatku merinding. Aku
takut segalanya akan berubah. Maka dari itu aku mengungkapkan hal ini kepadamu,
sekaligus mencari jalan keluar untuk masalah ini.
“Jadi?” tanyaku sekali lagi, “Kamu mau kita
tetap pacaran.. jarak… jauh?” aku mengucapkan tiga kata itu seperti mengeja.
Aku ingin kamu yakin dengan segala konsekuensinya. Jika kamu yakin, aku pun
akan yakin pula untuk melakukannya. Karena aku menyayangimu.
“Nggak akan mudah tapi aku akan berusaha,
sayang, kan sekarang sarana komunikasi juga makin banyak. Kita pasti bisa, ya!”
kamu mengangguk mantap. Mendadak hatiku terasa lebih ringan karenanya.
_____
“Adly itu teman satu kosku, Fan, jadi aku tahu
hampir segala sesuatu yang dilakukannya. Jadi aku nggak mau kamu sampai merasa
aku memprovokasimu, ya.”
“Aku tahu, Tho, aku tahu itu. Makanya aku
meminta kamu menunjukkan kepadaku langsung akan hal ini.”
“Dan kamu juga tahu kan kalau Rosa dan Adly
bersahabat sejak lama? Maaf, aku juga sering melihat Rosa main ke kos-anku,
tentunya untuk bertemu dengan Adly. Menurutku, untuk ukuran sahabat, keakraban
mereka agak berlebihan. Tapi ya, aku nggak mau begitu saja menilai buruk, aku
mau kamu menyimpulkan sendiri.” Lagi, aku mengangguk menerima penjelasan Antho.
Aku sudah mengenal Adly sejak sebelum jadian dengan Rosa. Adly adalah sahabat
Rosa sejak SMA, gara-gara dia juga aku berhasil mendekati Rosa dan menjadikan
dia sebagai pacarku.
_____
Rosa: Malem, sayang, maaf ya aku lama balas
whatsappnya, baru pulang, nih. Kamu belum bobok?
Fandi: J Nggak apa, sayang, aku belum tidur
kok, masih nonton tv nih. Ah, sinetron Thailand parah banget, deh. :))
Fandi: Kamu dari mana, sayang? Kok malem banget
pulangnya?
Rosa: Oh.. aku baru aja balik dari kos-nya
Adly. Kasian sayang, Adly lagi sakit demam, makanya aku datang buat jenguk
sekaligus kasi makanan. Jomblo gitu mana ada yang ngurusin? :))
Fandi: Ooo. Kasian juga itu bocah. Terus
gimana, udah mendingan belum?
Rosa: Udah lumayan turun sih, panasnya. Eh
sayang, besok lanjut lagi ya ngobrolnya, aku nguantuuk banget nih, L
Fandi: Okay! Miss you, sayang, Nite ..
:*
Mataku terpaku menatap iPhone di genggamanku.
Namun setelah menunggu sekitar sepuluh menit, tak ada lagi balasan dari Rosa.
Ah, mungkin gadisku terlalu lelah sehingga langsung tertidur. Lebih baik aku
bersiap untuk beristirahat juga.
Saat pagi menjelang, aku langsung mengecek
layar iPhoneku. Ada notifikasi whatsapp di layar utama. Pasti Rosa membalas ucapan kangenku semalam, pikirku. Dengan
semangat aku mencari fitur dengan ikon berwarna hijau itu.
Tania: Morning,
Fandi. Make sure you won’t be late today;
we have something to be discussed before meeting at 10, remember? ;)
Ah, dari cewek Filipina, rekan kerjaku di kota Bangkok
ini. Aku kembali memeriksa percakapan terakhirku dengan Rosa semalam. Benar
saja, tidak ada pesan baru yang masuk, pesan terakhir adalah saat aku
mengungkapkan kerinduanku. Hhhh… Jariku dengan cepat mengetikkan pesan baru di
bawahnya.
Fandi: Pagiii, Rosaku yang cantik. Udah bangun,
kan? Ayo semangat ya, hari ini, kecup sayang dari Bangkok. :*
Lalu aku beranjak mandi.
_____
“Apa Adly pernah cerita, kalau dia sedang dekat
dengan seorang perempuan, Tho?”
Aku kembali menanyai Antho sambil terus
mengawasi gerak-gerik dua orang yang sedang makan bersama di sebuah kedai
makanan Italia. Saling menyuapkan dua jenis pasta yang berbeda dari piring
mereka. Ah, aku muak melihatnya.
“Nggak pernah, Fan, satu-satunya gadis yang aku
lihat bersamanya baik di kos maupun di kampus, ya Rosa. Selebihnya, Adly
paling-paling pergi bareng gank
cowoknya.”
“Biasanya kamu melihat mereka di mana aja?”
“Di kantin kampus, kadang-kadang di ruang baca,
dan seringnya ya, di kamar kos Adly. Fan, sudahlah, lebih
baik kamu menanyakan
langsung pada Rosa daripada curiga nggak jelas gini. Belum tentu kan mereka
seburuk yang kita kira, mungkin saat itu Rosa sedang meminta bantuan kepada
Adly, aku juga nggak bisa memastikan hanya dengan menduga-duga.”
“Hhhh…”
_____
Malam itu, aku ingin memberi kejutan dengan
meneleponmu di hari ulang tahunmu. Sejak pagi hingga seharian aku menahan diri
untuk nggak mengucapkan selamat ulang tahun padamu, pura-pura lupa. Tetap
mengobrol seperti biasa, tapi mengacuhkan status whatsappmu yang sedang
menunjukkan kalau hari itu usiamu bertambah setahun. Lalu tepat pukul 21:35
Waktu Bangkok, atau sama saja dengan WIB, aku menghubungimu. Tepat di jam
kelahiranmu. Aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan suara terbaikku untuk
menyanyikan lagu ulang tahun buatmu, namun sejauh yang bisa didengar telingaku
hanyalah nada tunggu. Sampai sekitar delapan kali nada tunggu itu berbunyi,
hingga tersambung otomatis dengan kotak suara. Aku nggak menyerah. Aku nggak
mau ngomong sama mesin, aku harus mengucapkan langsung padamu. Maka kucoba lagi
sambungan internasional ke nomor telepon genggammu. Akhirnya di nada tunggu kelima,
telepon pun tersambung.
“Haaap..”
“Halo?”
“ … ”
Aku terkejut dan buru-buru mengatupkan bibirku
yang siap menyanyikan lagu selamat ulang tahun, saat mendengar suara yang
jelas-jelas bukan suaramu. Ini suara seorang pria.
“Eh, halo ini Fandi, ya? Sori ya Fan, handphonenya Rosa lagi sama gue. Eh iya,
ini Adly. Jadi tadi kita pergi bareng terus Rosa mampir ke kos gue buat ambil
buku kuliah. Eh, handphonenya
ketinggalan, deh.”
Aku mencoba mencerna penjelasan si penerima
telepon. Oh, begitu ceritanya. Pantas saja daritadi Rosa nggak cerewet di
whatsapp seperti biasanya. Rupanya handphonenya
tertinggal di tempat Adly. Aku mengurut kepalaku, merutuki kebodohanku sendiri
yang sok mau ngerjain pacar sendiri, akibatnya malah sekarang aku nggak bisa
mengucapkan ulang tahun padanya.
“Oke deh, thanks ya Dly. Tolong bilang aja sama
Rosa kalau ada telepon dari aku, pas hp ini udah balik ke dia.” Aku menutup
sambungan telepon dan menghempaskan diriku ke tempat tidur. Menenggelamkan
kepalaku di balik bantal. Aarrgh, aku rindu sekali pada Rosa!
_____
“Menurutmu, apa wajar sepasang sahabat berlaku
mesra seperti itu?” telunjukku mengarah pada seorang perempuan di dalam kedai
itu yang kini dengan telaten membersihkan mulut teman makannya dengan tisu.
Mereka berpandangan sambil tersenyum saat perempuan itu menunjukkan
perhatiannya. Aku sungguh muak melihatnya, tapi sampai detik ini aku masih
harus menahan emosiku.
“Harusnya sih nggak begitu, tapi entahlah,”
jawab Antho tak enak.
“By the
way, memangnya kamu nggak merasa sikap Rosa berubah sama kamu? Seharusnya
kamu bisa menyimpulkan sendiri kan dari hubungan kalian selama ini. Rasanya
nggak semudah itu buat seorang perempuan membagi perhatiannya kepada dua orang
pria sekaligus. Ya, kecuali dia play girl.
Tapi rasanya Rosa bukan tipe cewek seperti itu, deh.” Antho mencoba
menganalisa. Aku mengangguk-angguk kecil.
“Di bulan-bulan pertama, Rosa memang masih
hangat, Tho. Dia sering bilang kalau dia kangen sama aku, pengin banget ngobrol
sama aku. Dan kalau kami sedang berbincang di telepon, dia sering merajuk minta
dipeluk. Membuat aku semakin rindu saja. Tapi rasanya, itu hanya berlangsung
sekitar tiga bulanan, deh. Setelah itu aku baru sadar kalau dia semakin cuek.
Semakin jarang menyapaku di whatsapp kalau bukan aku yang menyapa duluan.
Percakapan yang dulu panjang pun juga sekarang semakin pendek. Dia juga semakin
jarang mau ditelepon, ada aja kesibukan yang menjadi alasannya. Ya, aku mencoba
maklum aja sih. Di suatu hubungan jarak jauh, memaksakan untuk terus dekat
adalah kunci utama untuk perpisahan, dan aku nggak mau itu terjadi. Sampai
akhirnya dua minggu lalu atasanku meminta untuk aku ke Jakarta karena urusan
kantor, dan aku berinisiatif memberinya kejutan. Nyatanya, malah aku yang
dikejutkan seperti ini. “
“Maaf ya Fan, kamu harus tahu hal yang nggak
enak kayak gini,” ujar Antho.
“Nggak lah, Tho, justru aku yang terima kasih
sama kamu karena udah mau nunjukkin sama aku. Kalau nggak, aku nggak tahu
gimana reaksiku kalau tahu hal ini sendirian, bisa kalap nggak jelas deh. Haha!”
aku tertawa, Antho ikut tertawa sambil menepuk pundakku.
“Eh, Fan!” Antho berseru sambil dagunya
mengarah ke arah restoran yang sedang kami amati. Sepasang yang tadi tampak
romantis makan bersama kini sedang melangkah keluar restoran. Mereka berbincang
akrab, si perempuan melingkarkan tangan kanannya di lengan kiri si pria. Si
pria tersenyum lebar sambil menceritakan sesuatu entah apa yang tampak lucu,
sehingga si perempuan tertawa. Aku membuka pintu mobilku.
“Fandi, mau ke mana, kamu?” sergah Antho. Aku
sudah nggak memedulikan lagi seruan sahabatku itu. Aku melangkahkan kakiku
cepat, mendekati dua orang itu sebelum mereka memasuki sebuah taksi. Ketika aku
sudah ada di hadapan mereka, si perempuan tampak tercekat dan mematung. Tapi
tangannya tetap dilingkarkan di lengan si pria, seolah sudah ditempeli lem. Si
pria yang kikuk lantas tersadar dan buru-buru melepaskan tangan perempuannya.
“Halo, Rosa apa kabar,” aku mencium pipi kirimu
dengan lembut, ”aku perlu bicara sama kamu. Yuk!” dengan kalem namun tegas aku
menggandeng tanganmu yang tadi bergelayut pada Adly. Beranjak pergi
meninggalkan pria yang berusia tiga tahun lebih muda dariku itu.
***
That should be me holding your hand
That should be making you laugh
That should be me this is so sad
That should be me, that should be me
That should be me feeling your kiss
That should be me buying you gifts
This is so wrong, I can't go on
'Til you believe that you should be me
(That Should be Me by Justin Bieber feat. Rascal Flatts)
I like this song and come up with an idea to wrting this short fiction last night ^^