“Kamu ini lapeer,
apa doyan, sih?”
Aku mendengar tawa
kecilmu di sela kesibukanku menikmati makanan di hadapanku dengan lahap. Atau
kalap. Ah, bodo amat.
“Kenapa emang?
Enak banget lho ini, yakin nggak mau ikut makan?”
Kamu menggeleng
sambil tersenyum dan memainkan sedotan di gelas es jerukmu. Tapi aku tahu
sebenernya diam-diam kamu sudah mulai tergoda sama makanan yang sedang kusantap
ini. Tuh, lihat aja matamu dari tadi curi-curi pandang ke arah mangkukku. Jadi
sekarang aku sengaja memakannya dengan lambat di hadapanmu. Gerakanku mengangkat
isi di dalam mangkuk kemudian mengunyahnya sengaja kubuat berlebihan.
“Ih, emang nggak
jijik ya makan ceker ayam gitu? Kan kotor pas hidup si ayam suka ngais-ngais
tanah,” ujarmu sambil memperhatikanku menggigiti tulang kaki ayam yang telah
dimasak bersama dengan daun bawang, kunyit, serai, ditambahi kol, tomat dan
toge. Jadilah Soto Ceker Ayam.
“Enak kali, kamu
cobain dulu deh baru komentar,” provokasiku sambil mengisap si ceker hingga
menimbulkan bunyi ‘sluurrrpp’... kulihat kamu menelan air ludahmu. Aku tertawa
dalam hati.
“Mau?” aku
menyodorkan sendok dengan ceker ayam ukuran kecil di atasnya. Kamu menatap
dengan ragu.
“Justru ya, karena
si ayam ini semasa hidupnya sering jalan-jalan ke mana-mana, makanya kakinya
pas dimasak jadi sedap gini. Mungkin pengaruh tanah yang meresap ke cekernya
kali, ya?”
“Ah, Tony, jijik
ah…” serumu geli, aku semakin tertawa.
“Udah cobain aja
dulu, nggak bakal sakit perut deh, kan aku sering makan di sini,” tukasku
sambil menyorongkan sendok ke mulutmu, bagai seorang ibu yang merayu anak
balitanya untuk makan. Sejenak kamu menarik kepalamu ke belakang sambil
memperhatikan sendokku, namun akhirnya kamu membuka mulutmu juga. Kamu mulai
mengunyah ceker yang kusuapkan, lalu tangan kananmu ikut campur tangan memegangi
tulang sementara gigi dan lidahmu sibuk menggigiti daging yang menempel dan
mengisap bumbu yang meresap di tulang.
“Gimana?” tanyaku
setelah memperhatikan ritual barumu itu. Kamu nggak berkomentar apa-apa, tapi
tangan kananmu dengan cekatan merebut sendok dari genggamanku, dan mengambil
kuah soto dari mangkukku untuk dirimu sendiri.
“Ih, kuahnya seger
banget ya, Ton!” serumu. Dan kamu nggak berhenti, lanjut menyuapkan ceker yang
tersisa, lalu toge, berikutnya kol, dan tak lupa tomat. Kamu sibuk menghabiskan
makanan yang tadinya milikku. Aku tertawa terbahak-bahak dan kamu tak
mengacuhkanku.
“Tuh kan, enak
kan? Mas, Soto Ceker-nya satu porsi lagi, ya!” aku terpaksa memesan lagi karena
sebenarnya perutku masih lapar.
Kita ngobrol
banyak malam itu, bahkan setelah seporsi nasi dan Soto Ceker Ayam di hadapan
kita masing-masing telah tandas. Aku membuatkan sebuah dongeng untukmu tentang
‘Si Ayam Backpacker’. Ayam yang selama hidupnya doyan jalan-jalan ke berbagai
pulau di Indonesia, sebelum akhirnya hidupnya berakhir di tangan seorang
pedagang ayam di pasar Senen, dibeli oleh Mat Ali penjual Soto dari Madura yang
merantau di Jakarta, diolah dengan bumbu-bumbu rahasia keluarga dan jadilah
Soto Ceker Ayam yang tersaji di hadapan kita. Kamu menyimak penuh perhatian
seolah percaya dengan ceritaku. Dan akhirnya pukul sebelas malam lewat, kita
terpaksa menyudahi kencan pinggir jalan kita, saat Mat Ali hendak membereskan
warung tendanya karena dagangannya telah habis terjual.
“Kapan-kapan ajak
aku makan ke sini lagi, ya,” ujarmu saat aku menyodorkan helm.
“Siap, tuan putri,
asal nggak kapok aja makan ceker ayam yang katanya menjijikkan itu,” godaku.
“Nggak jijik kok
ah, kan udah dimasak yang bener,” jawabmu seolah ingin meyakinkan diri sendiri,
aku tergelak untuk kesekiankalinya. Malam ini kamu begitu lucu di hadapanku.
“Putri, pulang
sama ayah saja, ya.” Baru saja aku selesai menyalakan motorku dan kamu bersiap
naik di boncengan belakangnya, saat tiba-tiba terdengar suara bariton dari pria
paruh baya di belakangmu. Kamu terkejut, apalagi aku.
“A..ayah? Lho, kok
bisa ada di sini?” aku mengangguk penuh hormat ke pria yang kamu panggil ayah
itu. Yang bulan lalu dengan tegas memintaku menjauhimu. Yang membuat kita jadi
nggak bebas lagi bertemu. Yang membuatmu jadi sering berbohong demi kebersamaan
kita. Pria yang menjadi penghalang hubungan cinta kita karena perbedaan status,
dan agama.
“Sudah malam, ayo
kita pulang, Nak,” pak Heru, nama ayahmu, dengan tenang melepaskan helm dari
kepalamu, menyerahkannya padaku tanpa perlu menatap wajahku, dan menggandeng
tanganmu melangkah menjauhiku. Menuju mobil yang diparkir tak jauh dari situ.
Baru kusadari kalau di depan mobil ada ibumu sedang berdiri juga. Wajahnya
menyiratkan rasa takut dan khawatir jadi satu. Aku tersenyum sambil mengangguk
kepadanya.
Malam itu, kamu
tidak pulang bersamaku, melainkan bersama orang tuamu dengan mobil Alphard hitam
mereka. Malam itu, jok belakang motorku kembali menjadi dingin, karena aku
harus pulang sendirian, sambil menenteng helm satu lagi yang akhirnya tak
terpakai. Malam itu, untuk pertama kalinya akhirnya kamu mau menikmati makanan
dari bahan dasar kaki binatang. Malam itu, adalah kencan kita yang menyenangkan.
Sekaligus kencan terakhir kita. :(
dinoy
terinspirasi habis makan Soto Ceker Ayam di depan Lottemart Fatmawati
:))
1 comment:
you are invited to follow my blog
Post a Comment