Friday, October 12, 2012

Ceker Ayam Pertamamu di Kencan Terakhir Kita


“Kamu ini lapeer, apa doyan, sih?”

Aku mendengar tawa kecilmu di sela kesibukanku menikmati makanan di hadapanku dengan lahap. Atau kalap. Ah, bodo amat.

“Kenapa emang? Enak banget lho ini, yakin nggak mau ikut makan?”

Kamu menggeleng sambil tersenyum dan memainkan sedotan di gelas es jerukmu. Tapi aku tahu sebenernya diam-diam kamu sudah mulai tergoda sama makanan yang sedang kusantap ini. Tuh, lihat aja matamu dari tadi curi-curi pandang ke arah mangkukku. Jadi sekarang aku sengaja memakannya dengan lambat di hadapanmu. Gerakanku mengangkat isi di dalam mangkuk kemudian mengunyahnya sengaja kubuat berlebihan.

“Ih, emang nggak jijik ya makan ceker ayam gitu? Kan kotor pas hidup si ayam suka ngais-ngais tanah,” ujarmu sambil memperhatikanku menggigiti tulang kaki ayam yang telah dimasak bersama dengan daun bawang, kunyit, serai, ditambahi kol, tomat dan toge. Jadilah Soto Ceker Ayam.

“Enak kali, kamu cobain dulu deh baru komentar,” provokasiku sambil mengisap si ceker hingga menimbulkan bunyi ‘sluurrrpp’... kulihat kamu menelan air ludahmu. Aku tertawa dalam hati.

“Mau?” aku menyodorkan sendok dengan ceker ayam ukuran kecil di atasnya. Kamu menatap dengan ragu.

“Justru ya, karena si ayam ini semasa hidupnya sering jalan-jalan ke mana-mana, makanya kakinya pas dimasak jadi sedap gini. Mungkin pengaruh tanah yang meresap ke cekernya kali, ya?”

“Ah, Tony, jijik ah…” serumu geli, aku semakin tertawa.

“Udah cobain aja dulu, nggak bakal sakit perut deh, kan aku sering makan di sini,” tukasku sambil menyorongkan sendok ke mulutmu, bagai seorang ibu yang merayu anak balitanya untuk makan. Sejenak kamu menarik kepalamu ke belakang sambil memperhatikan sendokku, namun akhirnya kamu membuka mulutmu juga. Kamu mulai mengunyah ceker yang kusuapkan, lalu tangan kananmu ikut campur tangan memegangi tulang sementara gigi dan lidahmu sibuk menggigiti daging yang menempel dan mengisap bumbu yang meresap di tulang.

“Gimana?” tanyaku setelah memperhatikan ritual barumu itu. Kamu nggak berkomentar apa-apa, tapi tangan kananmu dengan cekatan merebut sendok dari genggamanku, dan mengambil kuah soto dari mangkukku untuk dirimu sendiri.

“Ih, kuahnya seger banget ya, Ton!” serumu. Dan kamu nggak berhenti, lanjut menyuapkan ceker yang tersisa, lalu toge, berikutnya kol,  dan tak lupa tomat. Kamu sibuk menghabiskan makanan yang tadinya milikku. Aku tertawa terbahak-bahak dan kamu tak mengacuhkanku.

“Tuh kan, enak kan? Mas, Soto Ceker-nya satu porsi lagi, ya!” aku terpaksa memesan lagi karena sebenarnya perutku masih lapar.

Kita ngobrol banyak malam itu, bahkan setelah seporsi nasi dan Soto Ceker Ayam di hadapan kita masing-masing telah tandas. Aku membuatkan sebuah dongeng untukmu tentang ‘Si Ayam Backpacker’. Ayam yang selama hidupnya doyan jalan-jalan ke berbagai pulau di Indonesia, sebelum akhirnya hidupnya berakhir di tangan seorang pedagang ayam di pasar Senen, dibeli oleh Mat Ali penjual Soto dari Madura yang merantau di Jakarta, diolah dengan bumbu-bumbu rahasia keluarga dan jadilah Soto Ceker Ayam yang tersaji di hadapan kita. Kamu menyimak penuh perhatian seolah percaya dengan ceritaku. Dan akhirnya pukul sebelas malam lewat, kita terpaksa menyudahi kencan pinggir jalan kita, saat Mat Ali hendak membereskan warung tendanya karena dagangannya telah habis terjual.

“Kapan-kapan ajak aku makan ke sini lagi, ya,” ujarmu saat aku menyodorkan helm.

“Siap, tuan putri, asal nggak kapok aja makan ceker ayam yang katanya menjijikkan itu,” godaku.

“Nggak jijik kok ah, kan udah dimasak yang bener,” jawabmu seolah ingin meyakinkan diri sendiri, aku tergelak untuk kesekiankalinya. Malam ini kamu begitu lucu di hadapanku.

“Putri, pulang sama ayah saja, ya.” Baru saja aku selesai menyalakan motorku dan kamu bersiap naik di boncengan belakangnya, saat tiba-tiba terdengar suara bariton dari pria paruh baya di belakangmu. Kamu terkejut, apalagi aku.

“A..ayah? Lho, kok bisa ada di sini?” aku mengangguk penuh hormat ke pria yang kamu panggil ayah itu. Yang bulan lalu dengan tegas memintaku menjauhimu. Yang membuat kita jadi nggak bebas lagi bertemu. Yang membuatmu jadi sering berbohong demi kebersamaan kita. Pria yang menjadi penghalang hubungan cinta kita karena perbedaan status, dan agama.

“Sudah malam, ayo kita pulang, Nak,” pak Heru, nama ayahmu, dengan tenang melepaskan helm dari kepalamu, menyerahkannya padaku tanpa perlu menatap wajahku, dan menggandeng tanganmu melangkah menjauhiku. Menuju mobil yang diparkir tak jauh dari situ. Baru kusadari kalau di depan mobil ada ibumu sedang berdiri juga. Wajahnya menyiratkan rasa takut dan khawatir jadi satu. Aku tersenyum sambil mengangguk kepadanya.

Malam itu, kamu tidak pulang bersamaku, melainkan bersama orang tuamu dengan mobil Alphard hitam mereka. Malam itu, jok belakang motorku kembali menjadi dingin, karena aku harus pulang sendirian, sambil menenteng helm satu lagi yang akhirnya tak terpakai. Malam itu, untuk pertama kalinya akhirnya kamu mau menikmati makanan dari bahan dasar kaki binatang. Malam itu, adalah kencan kita yang menyenangkan. Sekaligus kencan terakhir kita. :(

dinoy
terinspirasi habis makan Soto Ceker Ayam di depan Lottemart Fatmawati

:))

1 comment:

Steve Finnell said...

you are invited to follow my blog