image by topnews.net.nz |
TAP! TAP! TAP!
Derap sepatu kedsku terdengar cukup keras saat aku
berlari menuju bagian dalam bangunan beraroma obat-obatan ini. Satu panggilan
dari seorang kawan membuatku berada di tempat yang tidak aku sukai ini.
“Dini, kamu bisa
ke Rumah Sakit Fatmawati sekarang? Livana kecelakaan tadi sore, tertabrak motor
saat hendak menyeberang jalan,” ucapan panik Edo di telepon setengah jam
lalu membuatku terperanjat dan segera menuju tempat ini.
Sebenarnya sempat timbul keraguan apakah aku perlu
mendatanginya, mengingat sudah dua tahun lebih kami tak berbicara. Tapi walau
bagaimana pun, Livana pernah menjadi sahabat dekatku…
I will fly into your arms
And be with you
Until the end of time~
Lagu itu… Langkahku terhenti dan mencari sumber suara,
lalu mendapati seorang pria menjawab panggilan dari telepon genggamnya.
“Gue suka banget sama lagu
ini, Din. Musiknya enak didengar, liriknya juga pas banget.”
Samar suara Livana seolah terdengar lagi di telingaku.
Dia selalu menyukai lagu ini, lagu yang pertama kali kami dengar di sebuah kafe
tujuh tahun lalu. Saat kami masih hangat sebagai sepasang sahabat di bangku
kuliah. Dengan menikmati minuman kegemaran masing-masing – Hot Espresso untuknya dan segelas Iced Cappucino di hadapanku – kami melepas penat usai jam-jam
kuliah yang membosankan. Lagu yang akhirnya juga kusukai dan menjadi lagu
kenangan kami. Namun kehangatan persahabatan itu memudar saat aku menentang
keputusannya melanjutkan pendidikan di Singapura setelah kami lulus dan menjadi
sarjana. Alasanku, saat itu orang tuanya sedang bermasalah dan tidak seharusnya
dia pergi. Tapi Livana menganggap aku terlalu mencampuri kehidupannya.
“Kalau lu nggak
bisa menghormati dan mendukung keputusan gue, kita nggak perlu ngobrol-ngobrol
lagi deh, Din!”
Aku masih ingat amarah yang dibalut kecewa dari Livana
dua tahun lalu. Masih terasa sakit kalau diingat. Beberapa bulan lalu aku
mendengar kabar ia kembali ke Jakarta, namun lagi-lagi aku tak punya keberanian
untuk menemuinya.
“Dini!” tepukan di bahu kiri dan suara bariton
menyadarkanku kembali dari lamunanku. Ternyata Edo, pacar Livana sejak masa
kuliah. Edo yang diam-diam selalu mengabariku kondisi terbaru Livana.
Beriringan kami menuju ruang gawat darurat, dan selama itu otakku tak henti
mencerna setiap perkataannya.
Ah, kenapa bisa jadi begini? Menurut Edo, tabrakan
yang dialami Livana cukup keras sehingga kepalanya membentur aspal jalanan dan
ia menjadi tak sadarkan diri. Livana,
Livana, apa yang terjadi padamu? pikirku cemas.
Kami tiba di sebuah ruangan dengan petunjuk
bertuliskan ‘UGD’. Mataku terbelalak ketika melihat sepasang orang tua yang
tampak gelisah. Mereka …
“Tante, bagaimana kondisi Livana?” Wanita separuh baya
yang kupanggil ‘tante’ itu langsung memelukku dan menangis.
“Livana masih
koma, Din, padahal kepalanya sudah dioperasi. Terjadi pendarahan yang
parah karena gegar otak…” Sambil tergugu ibu dari Livana menjelaskan kondisi
yang dialami sahabat terbaikku itu.
Aku tercengang mendengarnya. Lalu dengan langkah
gontai aku mendekati kaca ruangan tempat Livana dirawat dengan banyak selang
infus memenuhi tubuhnya.
Aku menempelkan tanganku di kaca dan berbisik lirih,
“Livana, cepat bangun, ya. Kita masih punya janji buat nonton konser ‘Ten 2
Five’ bareng, ingat, kan?” Air mata perlahan luruh dari kedua mataku …
***
dinoy
No comments:
Post a Comment