Wednesday, October 10, 2012

That Should be Me ..


“Fan, kamu nggak apa?” aku bergeming saja saat Antho memanggil namaku. Aku masih terpaku dengan pandangan mataku ke luar mobil, sementara kedua tanganku mencengkeram setir dengan kuat.
“Sejak kapan mereka berdua seperti itu, Tho?”

“Kamu tenang dulu deh, Fan, mungkin ini nggak seperti yang kita lihat. Mungkin ini cuma bentuk keakraban mereka saja sebagai sahabat. Kamu jangan emosi dulu, Fan.”

Aku berpaling dan memandang Antho. “Tho, aku tanya, sejak kapan mereka berdua seperti ini? Tolong jangan sembunyikan apa pun yang kamu ketahui dari aku, Tho.”

Antho menghela napas sebelum menjawab, “Nggak lama setelah kamu berangkat ke Bangkok, Fan, kira-kira sebulanan setelah itu.”
_____
“Sayang, kamu yakin kita sanggup LDR-an? Nggak gampang lho, sayang.”

“Terus mau kamu gimana? Kita putus? Tapi aku sayang banget sama kamu, Fandi .. Cuma dua tahun, kan? Aku akan menunggu, kita pasti bisa, sayang.” Nadamu terdengar merajuk saat kita makan malam di restoran favorit kita. Restoran yang menyajikan sirloin steak terlezat di penjuru kota ini.

Aku merasa berat sekali harus mengabarkan kalau kita akan terpisah dua negara karena pekerjaanku. Perpisahan bukanlah hal yang aku inginkan dari hubungan kita, namun untuk membayangkan nggak bisa ketemu kamu dalam kurun waktu tujuh ratusan hari saja sudah membuatku merinding. Aku takut segalanya akan berubah. Maka dari itu aku mengungkapkan hal ini kepadamu, sekaligus mencari jalan keluar untuk masalah ini.

“Jadi?” tanyaku sekali lagi, “Kamu mau kita tetap pacaran.. jarak… jauh?” aku mengucapkan tiga kata itu seperti mengeja. Aku ingin kamu yakin dengan segala konsekuensinya. Jika kamu yakin, aku pun akan yakin pula untuk melakukannya. Karena aku menyayangimu.

“Nggak akan mudah tapi aku akan berusaha, sayang, kan sekarang sarana komunikasi juga makin banyak. Kita pasti bisa, ya!” kamu mengangguk mantap. Mendadak hatiku terasa lebih ringan karenanya.
_____

“Adly itu teman satu kosku, Fan, jadi aku tahu hampir segala sesuatu yang dilakukannya. Jadi aku nggak mau kamu sampai merasa aku memprovokasimu, ya.”

“Aku tahu, Tho, aku tahu itu. Makanya aku meminta kamu menunjukkan kepadaku langsung akan hal ini.”

“Dan kamu juga tahu kan kalau Rosa dan Adly bersahabat sejak lama? Maaf, aku juga sering melihat Rosa main ke kos-anku, tentunya untuk bertemu dengan Adly. Menurutku, untuk ukuran sahabat, keakraban mereka agak berlebihan. Tapi ya, aku nggak mau begitu saja menilai buruk, aku mau kamu menyimpulkan sendiri.” Lagi, aku mengangguk menerima penjelasan Antho. Aku sudah mengenal Adly sejak sebelum jadian dengan Rosa. Adly adalah sahabat Rosa sejak SMA, gara-gara dia juga aku berhasil mendekati Rosa dan menjadikan dia sebagai pacarku.
_____

Rosa: Malem, sayang, maaf ya aku lama balas whatsappnya, baru pulang, nih. Kamu belum bobok?
Fandi: J Nggak apa, sayang, aku belum tidur kok, masih nonton tv nih. Ah, sinetron Thailand parah banget, deh. :))
Fandi: Kamu dari mana, sayang? Kok malem banget pulangnya?
Rosa: Oh.. aku baru aja balik dari kos-nya Adly. Kasian sayang, Adly lagi sakit demam, makanya aku datang buat jenguk sekaligus kasi makanan. Jomblo gitu mana ada yang ngurusin? :))
Fandi: Ooo. Kasian juga itu bocah. Terus gimana, udah mendingan belum?
Rosa: Udah lumayan turun sih, panasnya. Eh sayang, besok lanjut lagi ya ngobrolnya, aku nguantuuk banget nih, L
Fandi: Okay! Miss you, sayang, Nite .. :*

Mataku terpaku menatap iPhone di genggamanku. Namun setelah menunggu sekitar sepuluh menit, tak ada lagi balasan dari Rosa. Ah, mungkin gadisku terlalu lelah sehingga langsung tertidur. Lebih baik aku bersiap untuk beristirahat juga.

*
Saat pagi menjelang, aku langsung mengecek layar iPhoneku. Ada notifikasi whatsapp di layar utama. Pasti Rosa membalas ucapan kangenku semalam, pikirku. Dengan semangat aku mencari fitur dengan ikon berwarna hijau itu.

Tania: Morning, Fandi. Make sure you won’t be late today; we have something to be discussed before meeting at 10, remember? ;)

Ah, dari cewek Filipina, rekan kerjaku di kota Bangkok ini. Aku kembali memeriksa percakapan terakhirku dengan Rosa semalam. Benar saja, tidak ada pesan baru yang masuk, pesan terakhir adalah saat aku mengungkapkan kerinduanku. Hhhh… Jariku dengan cepat mengetikkan pesan baru di bawahnya.
Fandi: Pagiii, Rosaku yang cantik. Udah bangun, kan? Ayo semangat ya, hari ini, kecup sayang dari Bangkok. :*

Lalu aku beranjak mandi.
_____

“Apa Adly pernah cerita, kalau dia sedang dekat dengan seorang perempuan, Tho?”
Aku kembali menanyai Antho sambil terus mengawasi gerak-gerik dua orang yang sedang makan bersama di sebuah kedai makanan Italia. Saling menyuapkan dua jenis pasta yang berbeda dari piring mereka. Ah, aku muak melihatnya.

“Nggak pernah, Fan, satu-satunya gadis yang aku lihat bersamanya baik di kos maupun di kampus, ya Rosa. Selebihnya, Adly paling-paling pergi bareng gank cowoknya.”

“Biasanya kamu melihat mereka di mana aja?”

“Di kantin kampus, kadang-kadang di ruang baca, dan seringnya ya, di kamar kos Adly. Fan, sudahlah, lebih 
baik kamu menanyakan langsung pada Rosa daripada curiga nggak jelas gini. Belum tentu kan mereka seburuk yang kita kira, mungkin saat itu Rosa sedang meminta bantuan kepada Adly, aku juga nggak bisa memastikan hanya dengan menduga-duga.”
“Hhhh…”
_____
Malam itu, aku ingin memberi kejutan dengan meneleponmu di hari ulang tahunmu. Sejak pagi hingga seharian aku menahan diri untuk nggak mengucapkan selamat ulang tahun padamu, pura-pura lupa. Tetap mengobrol seperti biasa, tapi mengacuhkan status whatsappmu yang sedang menunjukkan kalau hari itu usiamu bertambah setahun. Lalu tepat pukul 21:35 Waktu Bangkok, atau sama saja dengan WIB, aku menghubungimu. Tepat di jam kelahiranmu. Aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan suara terbaikku untuk menyanyikan lagu ulang tahun buatmu, namun sejauh yang bisa didengar telingaku hanyalah nada tunggu. Sampai sekitar delapan kali nada tunggu itu berbunyi, hingga tersambung otomatis dengan kotak suara. Aku nggak menyerah. Aku nggak mau ngomong sama mesin, aku harus mengucapkan langsung padamu. Maka kucoba lagi sambungan internasional ke nomor telepon genggammu. Akhirnya di nada tunggu kelima, telepon pun tersambung.

“Haaap..”

“Halo?”

“ … ”

Aku terkejut dan buru-buru mengatupkan bibirku yang siap menyanyikan lagu selamat ulang tahun, saat mendengar suara yang jelas-jelas bukan suaramu. Ini suara seorang pria.

“Eh, halo ini Fandi, ya? Sori ya Fan, handphonenya Rosa lagi sama gue. Eh iya, ini Adly. Jadi tadi kita pergi bareng terus Rosa mampir ke kos gue buat ambil buku kuliah. Eh, handphonenya ketinggalan, deh.”
Aku mencoba mencerna penjelasan si penerima telepon. Oh, begitu ceritanya. Pantas saja daritadi Rosa nggak cerewet di whatsapp seperti biasanya. Rupanya handphonenya tertinggal di tempat Adly. Aku mengurut kepalaku, merutuki kebodohanku sendiri yang sok mau ngerjain pacar sendiri, akibatnya malah sekarang aku nggak bisa mengucapkan ulang tahun padanya.

“Oke deh, thanks ya Dly. Tolong bilang aja sama Rosa kalau ada telepon dari aku, pas hp ini udah balik ke dia.” Aku menutup sambungan telepon dan menghempaskan diriku ke tempat tidur. Menenggelamkan kepalaku di balik bantal. Aarrgh, aku rindu sekali pada Rosa!
_____

“Menurutmu, apa wajar sepasang sahabat berlaku mesra seperti itu?” telunjukku mengarah pada seorang perempuan di dalam kedai itu yang kini dengan telaten membersihkan mulut teman makannya dengan tisu. Mereka berpandangan sambil tersenyum saat perempuan itu menunjukkan perhatiannya. Aku sungguh muak melihatnya, tapi sampai detik ini aku masih harus menahan emosiku.

“Harusnya sih nggak begitu, tapi entahlah,” jawab Antho tak enak.

By the way, memangnya kamu nggak merasa sikap Rosa berubah sama kamu? Seharusnya kamu bisa menyimpulkan sendiri kan dari hubungan kalian selama ini. Rasanya nggak semudah itu buat seorang perempuan membagi perhatiannya kepada dua orang pria sekaligus. Ya, kecuali dia play girl. Tapi rasanya Rosa bukan tipe cewek seperti itu, deh.” Antho mencoba menganalisa. Aku mengangguk-angguk kecil.

“Di bulan-bulan pertama, Rosa memang masih hangat, Tho. Dia sering bilang kalau dia kangen sama aku, pengin banget ngobrol sama aku. Dan kalau kami sedang berbincang di telepon, dia sering merajuk minta dipeluk. Membuat aku semakin rindu saja. Tapi rasanya, itu hanya berlangsung sekitar tiga bulanan, deh. Setelah itu aku baru sadar kalau dia semakin cuek. Semakin jarang menyapaku di whatsapp kalau bukan aku yang menyapa duluan. Percakapan yang dulu panjang pun juga sekarang semakin pendek. Dia juga semakin jarang mau ditelepon, ada aja kesibukan yang menjadi alasannya. Ya, aku mencoba maklum aja sih. Di suatu hubungan jarak jauh, memaksakan untuk terus dekat adalah kunci utama untuk perpisahan, dan aku nggak mau itu terjadi. Sampai akhirnya dua minggu lalu atasanku meminta untuk aku ke Jakarta karena urusan kantor, dan aku berinisiatif memberinya kejutan. Nyatanya, malah aku yang dikejutkan seperti ini. “

“Maaf ya Fan, kamu harus tahu hal yang nggak enak kayak gini,” ujar Antho.

“Nggak lah, Tho, justru aku yang terima kasih sama kamu karena udah mau nunjukkin sama aku. Kalau nggak, aku nggak tahu gimana reaksiku kalau tahu hal ini sendirian, bisa kalap nggak jelas deh. Haha!” aku tertawa, Antho ikut tertawa sambil menepuk pundakku.

“Eh, Fan!” Antho berseru sambil dagunya mengarah ke arah restoran yang sedang kami amati. Sepasang yang tadi tampak romantis makan bersama kini sedang melangkah keluar restoran. Mereka berbincang akrab, si perempuan melingkarkan tangan kanannya di lengan kiri si pria. Si pria tersenyum lebar sambil menceritakan sesuatu entah apa yang tampak lucu, sehingga si perempuan tertawa. Aku membuka pintu mobilku.

“Fandi, mau ke mana, kamu?” sergah Antho. Aku sudah nggak memedulikan lagi seruan sahabatku itu. Aku melangkahkan kakiku cepat, mendekati dua orang itu sebelum mereka memasuki sebuah taksi. Ketika aku sudah ada di hadapan mereka, si perempuan tampak tercekat dan mematung. Tapi tangannya tetap dilingkarkan di lengan si pria, seolah sudah ditempeli lem. Si pria yang kikuk lantas tersadar dan buru-buru melepaskan tangan perempuannya.

“Halo, Rosa apa kabar,” aku mencium pipi kirimu dengan lembut, ”aku perlu bicara sama kamu. Yuk!” dengan kalem namun tegas aku menggandeng tanganmu yang tadi bergelayut pada Adly. Beranjak pergi meninggalkan pria yang berusia tiga tahun lebih muda dariku itu.


***

That should be me holding your hand
That should be making you laugh

That should be me this is so sad

That should be me, that should be me

That should be me feeling your kiss

That should be me buying you gifts
This is so wrong, I can't go on
'Til you believe that you should be me
(That Should be Me by Justin Bieber feat. Rascal Flatts)  

I like this song and come up with an idea to wrting this short fiction last night ^^
dinoy











No comments: