Aku duduk di kursi tinggi di dapur apartemenmu
pagi itu. Menyaksikan ritualmu membuatkan pancake
favoritku untuk sarapan setiap aku singgah di kediamanmu. Kamu tampak seksi
saat menuangkan tepung terigu, garam, dan susu cair ke dalam wadah plastik.
Juga saat dengan cekatan kamu menceraikan kuning telur dari putihnya dan
mempertemukan bulatan itu pada adonan tadi di dalam wadah putih. Sambil
mengocok putih telur di sebuah baskom, matamu menatapku mesra dan sudut bibirmu
terangkat ke atas. Senyum termanis yang kuterima pagi ini.
“Kalau memasak kue itu perasaan hatinya harus
lagi seneng, biar adonannya juga tercampur pas. Kayak pagi ini suasana hatiku
lagi gembira, karena ada kamu!” dengan cepat dan tak terduga kamu menowel ujung
hidungku usil. Setitik tepung terigu yang tak terpakai kini berada di atas
hidung tak mancungku ini. Aku memberengut kesal sambil membersihkannya dengan
tanganku.
“Masak aja yang bener, nggak usah ngegombal
gitu. Laper, nih!” seruku pura-pura marah. Kamu tertawa lagi. Putih telur yang
sudah terkocok hingga kaku lantas berpadu dengan adonan tepung terigu dan
kawanannya yang telah lebih dulu kau campur rata. Kamu melanjutkan ritualmu
sambil bersenandung lucu. Lagu anak-anak yang rasanya nggak nyambung untuk
dinyanyikan oleh pria seusiamu. Namun tak urung aku tertawa juga mendengarnya.
Aku punya anjing
kecil,
Kuberi nama Helly ..
Dia senang
bermain-main,,
Sambil berlari-lari..
Helly !
[Guk ..
Guk .. Guk !!]
Kemari !
[Guk .. Guk .. Guk !!]
Ayo lari.. lariii…
Di setiap bagian kata ‘Helly’ dan ‘Kemari’,
kamu akan menyodorkan alat pengaduk adonan kepadaku, seolah sedang menyodorkan microphone, dan aku akan spontan
menirukan suara anjing yang dipanggil ‘Helly’. Sial, aku dikerjain! :D
Dan sekarang tiba waktunya pada momen yang
istimewa dalam membuat pancake ini,
momen yang kusukai karena semakin menunjukkan keahlian memasakmu: memasak
adonan di atas wajan teflon yang telah dipanaskan dan diolesi margarin. Kenapa
aku menyukainya? Karena caramu menuangkan adonan dengan sabar mengingatkanku
pada kenapa aku jatuh cinta padamu. Sedikit demi sedikit kamu memberikan
perhatian yang membuatku merasa disayangi. Dengan telaten kamu menunggu adonan
itu untuk beberapa saat, hingga pencampuran tepung terigu-telur-garam-susu cair
itu tampak berpori di permukaan dan pinggirannya sedikit mengeras. Setelaten
itu pula kamu menunggui aku menerima segala bentuk rasa sayang yang kau
curahkan hingga aku setuju menjalin hubungan ini. Lebih dari pertemanan biasa.
Kini di hadapanku terhidang dua pancake yang telah matang. Aroma pancake yang masih panas berkelebat dan terasa
nyaman di hidung, mengingatkan pada masa kecil saat ibuku dulu sering
membuatkanku kue pukis. Kau tumpang tindih dua pancake itu di atas piring
serupa daun, lalu dengan gerakan slow
motion seolah hendak menggodaku, kau tuangkan susu kental manis rasa
cokelat mengelilingi pancake itu. Aku
menelan air liurku sendiri, tak sabar hendak mencicipinya. Dengan cepat kuraih
garpu di sebelah kanan piring, namun tanganmu menahanku.
“Eits, tunggu dulu, kau melupakan sesuatu?”
kerlingmu. Aku memicingkan mataku, mencoba menerka. Apalagi yang kurang? Dasar
usil, nggak lihat apa ini air liur hampir menetes?
Kamu beranjak menuju kulkas di belakangmu,
mengambil sesuatu. Ah, dua. Kamu mengambil dua butir stroberi kecil yang masih
tampak segar. Dengan cekatan kamu membelah buah merah itu dan meletakkannya di
atas pancake cokelatku. Hanya
untukku.
Photo credit: Donal (@monyetterbang)
“Silakan, nona.. ‘Pancake Strawberry Lips’
spesial untuk sarapan anda. Dimasak khusus oleh seorang chef yang sangat mencintai anda.” Aku mendelik mendengar gombalanmu,
padahal diam-diam hatiku tersanjung.
Kupotong pancake
itu dengan garpu, dengan khidmat menyuapkan potongan kecil itu ke dalam
mulutku. Mengunyahnya pelan-pelan. Membiarkan gigi dan lidahku mengecap makanan yang telah kusaksikan sendiri cara pembuatannya itu. Teksturnya lembut, namun
sekaligus kuat. Lembut yang tidak lembek. Terasa pas. Seperti kecupan pertama
yang kamu berikan di pipi saat kita jadian dulu. Lembut, namun kuat membekas di
memoriku. Aku tersenyum lebar. Kamu memandangku penuh harap. Ini bukan kali
pertama kamu membuatkan pancake
untukku, namun kamu selalu penasaran apa yang akan kuucapkan tentang hidangan
yang kamu sajikan itu. Aku masih diam, sengaja membuatmu menunggu. Kali ini
kutusukkan garpuku pada potongan kecil pancake yang terlumur cokelat, sekaligus
mencucukkan ujung-ujung garpu pada buah stroberi yang terjatuh.
Kres! Lidahku menemui perpaduan rasa manis-asam
menjadi satu, segar sekali. Aku tertawa melihatmu menyilangkan tangan di dada.
Masih menunggu komentarku.
“Kamu tahu apa yang membuat pancake ini istimewa?”
Kamu tersenyum penuh percaya diri. “Aku?” jari
telunjuk kananmu kau sentuhkan ke dada.
“Bukan, piringnya, aku suka warna hijau. Haha!”
Kita tergelak bersama.
. . . . .
empat ratus lima puluh
tiga hari setelahnya
Aku melihatmu duduk dengan murung. Di kedai pancake yang saat itu terlihat cukup
ramai. ‘Mr. Delicious Pancake’, adalah tempat yang berhasil kamu dirikan dengan
kerja kerasmu. Kamu terlihat begitu gembira dengan pencapaian ini. Apalagi aku.
Aku pun tak sabar ingin melihat kamu berbicara sepatah dua patah kata di hari
peresmian kedai pancake dengan
dekorasi warna hijau tosca ini. Warna
yang kau pilih karena aku menyukainya.
Sudah kusiapkan gaun termanis yang kumiliki.
Merias diriku dengan cantik namun tak berlebihan, dan mobil pun telah
dipanaskan dan siap untuk dikendarai. Siapa yang menyangka kali itu hujan akan
turus dengan deras? Siapa yang menyangka ada saja orang bodoh yang menyetir
dalam keadaan mabuk? Aku membanting setir ke kanan, berusaha menghindari
tabrakan, namun terlambat. Mobilku terguling dan aku dilarikan ke Rumah Sakit. Ragaku
tak terselamatkan karena benturan keras di kepalaku dan kehilangan banyak darah
…
Satu setengah tahun berlalu setelah kejadian
itu. Aku mengabdikan diri untuk menjadi penjagamu yang tak kasatmata.
Melihatmu setiap hari berjuang untuk mengatasi kesedihan akan kepergianku.
Melihatmu setiap pagi membuat pancake persis
seperti favoritku. Lalu memakannya sendiri dengan pandangan kosong. Kelak, kamu
akan tahu kalau aku nggak pernah pergi. Kamu akan tahu kalau hidangan di surga
tak ada yang seistimewa pancake
cokelat-stroberi buatanmu. Itu semua karena satu alasan sederhana: tak ada yang
mencintaiku di surga, setepat kamu melakukannya untukku. :)
Dinoy
1 comment:
Ih, bagus is :')
Post a Comment