cast: @harry_mdj & @duwdr
“Kita berbeda, mas, aku ndak bisa ..”
Harry menghela napas panjang, sambil memandang
wajah Ulfa, gadis yang disayanginya.
“Kita ini sama-sama manusia, Ul, semua pasti
masih bisa diusahakan kalau kita mau. Kamu mau, kan?” tanya Harry perlahan.
“Mas ..” Ulfa meneliti paras muka pemuda yang
dicintainya itu.
“Kalau aku ndak
mau, aku ndak akan menerima kamu dari
awal. Aku juga sayang banget sama kamu, tapi kita udah terlalu lama
mengusahakan ini. Tapi, jalannya ndak
pernah bisa gampang selama kita masih tetap menjadi diri kita yang sekarang
ini,” ujar Ulfa pelan, berusaha untuk nggak menyakiti perasaan Harry.
Lagi, Harry mengela napas. Sorot matanya yang sendu
terus menelisik paras ayu gadisnya.
“Kita bicarakan lagi nanti, sekarang kita jalan
dulu yuk, temani aku membeli kue bulan untuk acara keluargaku.”
Lalu mereka berdua berdiri dan mulai melangkah.
Menyibak keramaian kawasan Petak Sembilan di siang hari yang gerah itu. Harry
dan Ulfa menyisiri jalanan panjang nan kecil yang diisi oleh pedagang pakaian,
kepingan dvd bajakan film dan lagu mandarin, juga aneka jajanan yang terutama moon cake, kue khas dari China.
Di suatu sudut mereka berhenti, Harry mulai
memilih-milih kue bulan pesanan ibundanya.
“Kamu paling suka yang rasa apa, mas?” tanya Ulfa
dengan nada ceria saat Harry meneliti kue-kue terbaik yang dijajakan di satu
toko. Di atas toko itu tertulis merk andalan kue bulan tersebut: Sin Hap Hoat.
“Ketan hitam rasanya enak banget. Kamu udah
pernah coba belum?“ pertanyaan Harry disambut dengan gelengan kepala oleh gadis
kurus itu.
“Kalau gitu kamu perlu cobain satu, aku
bungkusin buat kamu yang rasa ketan hitam. Kamu pasti suka!”
“Silakan Ko, moon cakenya. Jangan lupa lain kali mampir lagi ya, sama noniknya
juga!” seorang ibu berkulit putih dan bermata sipit menyerahkan bungkusan kue
bulan yang dibeli Harry.
“Hahaha! Gimana toh ibu itu, masak kulit jawa
begini dibilang ‘nonik’!” Ulfa berseru geli meresponi perkataan penjaga toko
tadi. Mereka sudah berjalan meninggalkan toko moon cake.
“Hehehe, mukamu tuh agak kecinaan!” balas Harry
sambil menggenggam tangan Ulfa.
“Mas, aku laper, aku mau makan toge goreng itu,
ya,” kata Ulfa di tengah perjalanan. Harry melihat jam di pergelangan
tangannya.
“Oh, kamu aku tinggal sebentar nggak apa? Aku
mau sembahyang dulu di Vihara gang depan situ,” Harry menunjuk ke depan, ke arah sebuah gang dengan aksara
mandarin tertulis di atasnya. Ulfa mengangguk. “Aku tunggu di sini, ya.”
Mereka berpisah sejenak. Sembari berjalan Harry
terus memikirkan tentang hubungan keduanya. Sudah dua tahun mereka berpacaran, dengan
identitas yang berbeda yang melekat pada diri mereka. Harry lahir dan
dibesarkan di keluarga peranakan China, sementara Ulfa adalah gadis Jawa yang
berasal dari Semarang. Ulfa merayakan Idul Fitri, Harry khusuk bersembahyang di
Candi Borobudur kala Waisak tiba. Perbedaan yang mereka sadari sedari awal,
namun tak membuat mereka berhenti saling mencintai. Tapi setengah tahun
belakangan, orang tua Ulfa mendesak untuk dia mencari pasangan yang seiman.
Keluarga Harry, meski tidak bisa dibilang kolot, namun lebih menginginkan
anaknya bersanding dengan wanita peranakan China pula. Lambat laun perbedaan
itu mau tak mau menjadi masalah krusial di antara keduanya. Hari ini, di Petak
Sembilan, mereka sepakat untuk mengambil keputusan akan hubungan mereka, dan
mencari jalan keluar.
Setengah jam kemudian
“Udah selesai, mas?” Ulfa melihat Harry
menghampirinya di tempat ia makan toge goreng.
“Udah,” jawab Harry tersenyum, “gimana toge
gorengnya? Enak? Udah kenyang, belum?”
“Wueeeenak, mas! Ini baru pertama aku makan
toge goreng. Seger dan ngenyangin! Kapan-kapan mau lagi, ah!” Keduanya lantas
tergelak. Lalu sejurus kemudian tawa mereka terhenti dan mereka saling menatap.
“Mas, masalah yang tadi, aku …” Ulfa
menggantung kalimatnya.
“Iya, aku tahu, Ul. Kamu benar, kita nggak
bisa.” Kali ini Harry mengatakannya dengan wajah lebih tenang. Tadi selama
berdoa ia telah menimbang masalah mereka matang-matang. Sepertinya, hanya ada
satu jalan keluar terbaik untuk masalah mereka berdua. Ulfa menelan ludah
mendengar perkataan kekasihnya.
“Kamu
ndak apa apa, mas?” ujar Ulfa kembali
memastikan.
Harry tersenyum, Ulfa merasa lega.
Walau berat, akhirnya keputusan tetap harus diambil. Mereka berpisah. Di Petak Sembilan.
Harry tersenyum, Ulfa merasa lega.
Walau berat, akhirnya keputusan tetap harus diambil. Mereka berpisah. Di Petak Sembilan.
Just a flash fiction, not a true story
inspired by a trip to Petak Sembilan at Sept 20th, 2012 with @monyetterbang, @harry_mdj, @callmematheo, @duwdr, @reitoku
dinoy
No comments:
Post a Comment