Saturday, October 27, 2012

Happy National Blogger Day, Bloggers!! ^^

Pagi ini bangun dan baca timeline twitter, ada beberapa tuips yang mengucapkan 'Selamat Hari Blogger Nasional!' Huwoooowwwhh ! Secara saya juga seorang yang aktif nge-blog, maka saya pun merasa menjadi salah satu yang 'berulang tahun' hari ini. Saya pun ikut menuliskan di twitter:



Ya, blog buat saya adalah sarana untuk menyalurkan ide dan inspirasi saya, dan bukan nggak mungkin untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Saya pertama kali memiliki blog adalah di tahun 2008. Saya ingat betul waktu itu saya sedang bekerja di sebuah portal berita, jadinya ya setiap hari berkutat dengan internet :D Dari situ saya tahu blog itu apa, yaitu media internet di mana kita bisa nulis dan posting suka-suka. Wah, seru nih. Maka kemudian muncullah blog ini. Isinya? Boleh dirunut deh postingan dari tahun 2008, kebanyakan ya tentang curhatan-curhatan saya tentang perasaan saya waktu itu, hihihiii..

Well, setiap blogger pasti memiliki tujuan masing-masing saat bikin blog, yang kemudian berpengaruh pada konten blog. Dan selama tujuan itu positif, buat saya nggak ada yang salah, juga tentang mengisi curahan hati di blog. :D Tapi seiring perkembangan waktu, saya sering membaca ulang blog saya dan berpikir, "Najis, ngapain gue dulu nulis gituan ya? Norak, ah!" Hehe.. Dan secara tidak disadari pula, saya mulai 'rapi' dalam mengisi postingan di blog. Saya berusaha menempatkan diri sebagai orang lain yang juga membaca blog saya. Kira-kira suka juga nggak ya? Bermanfaat nggak ya buat mereka?

Maka kalau melihat konten blog saya sejak akhir 2010, isinya adalah sharing tentang hal-hal yang saya lakukan yang sebisa mungkin juga bisa dinikmati oleh umum. Lalu mulai tahun 2011, saya memperbanyak konten blog saya dengan resensi buku dan prosa karya saya. Ya, masih ada juga lah satu-dua tulisan curhatan saya, tapi sebisa mungkin menulisnya nggak asal-asalan, hehe..

Apakah saya bersenang-senang dengan blog saya? Apakah saya mendapatkan sesuatu dari blog saya? Apakah ada orang lain yang termanfaati dengan blog saya? Puji Tuhan, jawabannya adalah ya, ya, dan ya. :) Meski berusaha menulis agar bisa dibaca dengan baik oleh orang lain, saya tetap bersenang-senang kok saat menulis. Nggak sampai harus kaku dengan kaidah-kaidah bahasa baku. Tapi yang jelas format penulisan memang lebih diperhatikan, misalnya paragraf jangan terlalu panjang, biar lebih rapi dan nggak capek bacanya. :) 

Dan saya juga mendapatkan sesuatu dari blog ini. Misalnya, teman yang juga pemilik dari Penerbit Haru tertarik untuk meminta saya menuliskan resensi buku Haru untuk dipasang di media, setelah melihat resensi novel 'Then I Hate You So' di blog ini. Dan saya bersyukur banget ketika ada beberapa teman yang bilang, mereka tertarik saat membaca resensi buku yang saya tulis, atau ada juga teman yang menikmati prosa hasil bersenang-senang saya. :D

Bicara soal bermanfaat, saya juga beberapa kali melihat konten blog saya 'dipindahkan' ke blog atau situs lain. Baik dengan mencantumkan credit, maupun tidak mencantumkan. Ini nih contohnya:


Review novel 'My Boyfriend's Wedding Dress' di http://kpopkoreadrama.blogspot.com/2012/08/review-novel-my-boyfriends-wedding.html yg diambil dari sini (thx for putting the credit :) )


Review novel 'Seoul Cinderella' di http://www.bukabuku.com/browse/bookdetail/2010000041574/seoul-cinderella.html yg sayangnya nggak mencantumkan credit ke blog saya, padahal jelas-jelas persis dengan yang di sini :(

Yah, kesal juga sih kalau ada yang main catut isi blog tanpa mencantumkan credit. Waktu itu sempat protes ke yang bersangkutan lewat twitter tapi nggak digubris. Tapi ya sudahlah, nggak mau terlalu ambil pusing karena kan tujuannya bagus, buat promosi buku. Ya senang aja kalau tulisan saya bisa berguna buat bahan promosi. :)

Jadi menurut saya, nge-blog itu banyaaak sekali manfaatnya. Bayangkan ketika ada pengunjung ke blog kita karena mereka sedang googling tentang satu info dan diarahkan ke blog kita, wuaaah! Rasanya senang dan bangga! :D 

Oh ya, selain blog ini yang isinya lumayan random, saya juga punya satu blog lagi yang isinya khusus tentang traveling, yaitu http://travelerwannabe04.blogspot.com/ saya buat sejak September 2011. Di sana saya sharing tentang catatan perjalanan saya, info, tips, dan hal-hal lain berkaitan dengan traveling

Seru banget lah, karena melalui media blog saya bisa menyalurkan kesukaan-kesukaan saya yaitu: baca, menulis, dan traveling. Saya percaya ketika kita menyukai sesuatu dan melakukannya secara kontinyu dan (sebisa mungkin) serius, maka hal tersebut akan membawa hasil baik buat kita. Mungkin bukan sekarang, tapi suatu saat nanti. :) Dan lewat blog lah saya melakukan hal tersebut. Bukan nggak mungkin kesukaan yang berujung passion itu akan mewujudkan mimpi-mimpi kita. Amin!

Selamat Hari Blogger Nasional, kawan-kawan blogger! :)

dinoy

Monday, October 22, 2012

A Bite About CheekyRomance


Info Buku:
Judul Buku: Cheeky Romance
Penulis: Kim Eun Jeong
Penerbit: Haru
Genre: Romance Comedy
Kategori: Fiksi, Novel terjemahan
Tebal: 450 Halaman
Harga: Rp 65.000


Berawal dari diselingkuhi pacar yang merupakan rekan kerja sendiri, berimbas pada tindakan emosional yang malah berakibat fatal pada kelangsungan karir Yoo Chae di sebuah stasiun TV. Sebagai seorang reporter, karir Yoo Chae selama ini bisa dibilang biasa-biasa saja. Dia belum pernah sekali pun dipercayai memegang satu acara tetap. Suatu hari kemarahannya yang dilampiaskan dengan menulis makian di situs jejaring sosial milik perusahaannya, membuat dia dikecam dan terancam kehilangan pekerjaannya. Untungnya, ia masih dipercaya untuk membawakan satu program acara secara langsung, dan tugas pertamanya adalah liputan tentang salah satu restoran. Hal yang menyenangkan menurut Yoo Chae, namun ia tak menyangka bahwa ini adalah awal pertemuannya dengan Yoon Pyo yang membawa petaka.

Bagi Yoon Pyo, profesinya sebagai seorang dokter kandungan membuatnya memperhatikan benar hal-hal sekitar ibu hamil dan kondisi janin. Makanya ia sering gemas dengan ibu-ibu hamil yang tidak menjaga kandungannya dengan baik dan berbuat macam-macam. Anak adalah suatu anugerah dari Tuhan, dan tidak setiap perempuan beruntung dikaruniai kemampuan untuk mengandung dan melahirkan bayi. Yoon Pyo tidak habis pikir jika ada seorang calon ibu yang mengabaikan kondisi janinnya.

Yoo Chae yang baru saja bisa mengatasi masalah yang diakibatkan karena tindakan emosionalnya, dan Yoon Pyo yang harus menghadapi ibunya yang tidak pernah akur dengannya, secara tidak sengaja bertemu di salah satu restoran. Dengan tidak sabaran dan penuh emosi, Yoon Pyo melabrak Yoo Chae yang mengkonsumsi makanan dan minuman yang berbahaya bagi janinnya. Yoo Chae merasa terkejut dengan kehadiran pria yang tahu-tahu mengacaukan pekerjaannya itu.  Ia bertekad akan melakukan tindakan untuk membalas perbuatannya. Namun yang terjadi, Yoo Chae dan Yoon Pyo malahan disandingkan dalam sebuah acara dokumenter. Apakah Yoo Chae menyetujui untuk syuting bersama Yoon Pyo? Bagaimana Yoon Pyo mengatasi kekacauan yang diakibatkan oleh sifat tidak sabarnya?

Setelah konflik antara idola dan antifan (So, I Married the Anti-fan), calon pengantin dan gaun pengantin yang tertukar (My Boyfriend’s Wedding Dress), Kim Eun Jeong kembali menuliskan ide yang segar di novel ‘Cheeky Romance’ ini. Konflik antara reporter wanita dan dokter kandungan pria yang menjadi idola di rumah sakit. Konflik yang diawali dari suatu kesalahpahaman yang terlanjur beredar di masyarakat luas, membawa dua manusia ini ke dalam kisah cinta yang menggelitik. Permasalahan keluarga yang membalut cerita ini juga menambah pesan moral yang disampaikan di novel ini. Masih dengan kekhasan Kim Eun Jeong yang menuliskan alur cerita dengan dialog dan adegan yang taktis dan seru, sehingga novel ini dapat dengan mudah divisualisasikan ala drama Korea oleh pembacanya.



dinoy

Sunday, October 21, 2012

Close To You - a Novel Review


Info Buku
Judul Buku: Close To You
Penulis: Clara Canceriana
Penerbit: Haru
Genre: Romance
Kategori: Fiksi, novel lokal
Harga: Rp 42.500
Tebal: 264 Halaman
Terbit: Oktober 2012


“Kau… pernah jatuh cinta pada dua orang sekaligus?” 

Jatuh cinta pada dua orang sekaligus, itulah yang Hara rasakan saat ini. Hara menyukai Alex, teman bicara di dunia maya yang menyenangkan. Alex mengenali Hara melalui sebuah nama, Lee. Lee yang dikenali Alex adalah gadis yang manis, lembut, dan ramah diajak bicara. Setiap hari mereka berbincang lewat skype tentang banyak hal. Terutama menceritakan perasaan masing-masing akan hari yang baru saja dilalui.

Di kehidupan nyata, sosok Hara berbeda dengan yang dikenali Alex. Hara tidak suka siapa pun menghalangi jalannya untuk melakukan apa yang diinginkannya. Baginya, tidak ada basa basi, dan setiap orang yang tampak menyebalkan di matanya akan langsung mendapatkan ganjarannya. Cewek yang galak, begitu ia biasa dijuluki. Penampilannya yang tomboi menyembunyikan kecantikan wajahnya. Padahal dibalik sifatnya yang galak dan keras terhadap orang lain, sebenarnya Hara tetaplah perempuan yang memiliki jiwa yang sensitif. Peristiwa di masa lalu membuatnya membentuk dirinya sendiri menjadi seolah-olah tidak memerlukan orang lain. Saat Hara mulai merasakan kenyamanan bersama Alex, Shin Kang datang mengusiknya. Kang adalah mantan pacar Hara yang dulu memutuskannya karena berselingkuh dan tidak tahan dengan pribadi Hara. Namun kini Kang kembali hadir dan berusaha untuk menjadikan Hara sebagai pacarnya lagi. Akankah Hara menerima Kang kembali?

Belum selesai urusannya dengan Kang, ada cowok lain yang juga mencuri perhatian Hara. Dia adalah Bayu, mahasiswa asal Indonesia. Menjadi mahasiswa asing di negara dengan bahasa yang tidak bisa dibilang mudah untuk dipelajari, membuat Bayu agak kesulitan untuk berinteraksi dengan kawan-kawan kampusnya. Apalagi ia adalah cowok yang minder. Pada akhirnya ia menggunakan kemampuan dan ketelatenannya dalam mengerjakan tugas kuliah untuk bisa berinteraksi dengan para gadis. Oh, salah, tepatnya gadis-gadis itulah yang memanfaatkan kemampuannya. Mereka mendekati Bayu untuk sekadar minta dibuatkan tugas atau menyalin catatan mata kuliah. Dan Bayu tidak menolak. Dengan kenaifannya ia berpikir bahwa gadis-gadis itu sungguh-sungguh memerlukan pertolongannya. Namun justru Hara lah yang kesal akan hal ini dan memperingatkan Bayu untuk tidak menuruti kemauan mereka. Kenapa Hara menjadi sepeduli itu terhadap Bayu? Sebenarnya siapakah yg Hara sukai?

Novel kelima karya Clara Canceriana ini bercerita tentang kehidupan mahasiswa di Korea. Di novel ini kita akan diajak menyelami beberapa kebiasaan mahasiswa Korea, juga budaya-budaya negeri tersebut. Lewat kisah di antara kedekatan Hara-Alex-Lee-Bayu-Kang di Kwangdae University, Seoul, kita juga akan diajak untuk menyelami setiap perbedaan karakter dan cara mereka mengungkapkan perasaan masing-masing. 


dinoy

Friday, October 12, 2012

Ceker Ayam Pertamamu di Kencan Terakhir Kita


“Kamu ini lapeer, apa doyan, sih?”

Aku mendengar tawa kecilmu di sela kesibukanku menikmati makanan di hadapanku dengan lahap. Atau kalap. Ah, bodo amat.

“Kenapa emang? Enak banget lho ini, yakin nggak mau ikut makan?”

Kamu menggeleng sambil tersenyum dan memainkan sedotan di gelas es jerukmu. Tapi aku tahu sebenernya diam-diam kamu sudah mulai tergoda sama makanan yang sedang kusantap ini. Tuh, lihat aja matamu dari tadi curi-curi pandang ke arah mangkukku. Jadi sekarang aku sengaja memakannya dengan lambat di hadapanmu. Gerakanku mengangkat isi di dalam mangkuk kemudian mengunyahnya sengaja kubuat berlebihan.

“Ih, emang nggak jijik ya makan ceker ayam gitu? Kan kotor pas hidup si ayam suka ngais-ngais tanah,” ujarmu sambil memperhatikanku menggigiti tulang kaki ayam yang telah dimasak bersama dengan daun bawang, kunyit, serai, ditambahi kol, tomat dan toge. Jadilah Soto Ceker Ayam.

“Enak kali, kamu cobain dulu deh baru komentar,” provokasiku sambil mengisap si ceker hingga menimbulkan bunyi ‘sluurrrpp’... kulihat kamu menelan air ludahmu. Aku tertawa dalam hati.

“Mau?” aku menyodorkan sendok dengan ceker ayam ukuran kecil di atasnya. Kamu menatap dengan ragu.

“Justru ya, karena si ayam ini semasa hidupnya sering jalan-jalan ke mana-mana, makanya kakinya pas dimasak jadi sedap gini. Mungkin pengaruh tanah yang meresap ke cekernya kali, ya?”

“Ah, Tony, jijik ah…” serumu geli, aku semakin tertawa.

“Udah cobain aja dulu, nggak bakal sakit perut deh, kan aku sering makan di sini,” tukasku sambil menyorongkan sendok ke mulutmu, bagai seorang ibu yang merayu anak balitanya untuk makan. Sejenak kamu menarik kepalamu ke belakang sambil memperhatikan sendokku, namun akhirnya kamu membuka mulutmu juga. Kamu mulai mengunyah ceker yang kusuapkan, lalu tangan kananmu ikut campur tangan memegangi tulang sementara gigi dan lidahmu sibuk menggigiti daging yang menempel dan mengisap bumbu yang meresap di tulang.

“Gimana?” tanyaku setelah memperhatikan ritual barumu itu. Kamu nggak berkomentar apa-apa, tapi tangan kananmu dengan cekatan merebut sendok dari genggamanku, dan mengambil kuah soto dari mangkukku untuk dirimu sendiri.

“Ih, kuahnya seger banget ya, Ton!” serumu. Dan kamu nggak berhenti, lanjut menyuapkan ceker yang tersisa, lalu toge, berikutnya kol,  dan tak lupa tomat. Kamu sibuk menghabiskan makanan yang tadinya milikku. Aku tertawa terbahak-bahak dan kamu tak mengacuhkanku.

“Tuh kan, enak kan? Mas, Soto Ceker-nya satu porsi lagi, ya!” aku terpaksa memesan lagi karena sebenarnya perutku masih lapar.

Kita ngobrol banyak malam itu, bahkan setelah seporsi nasi dan Soto Ceker Ayam di hadapan kita masing-masing telah tandas. Aku membuatkan sebuah dongeng untukmu tentang ‘Si Ayam Backpacker’. Ayam yang selama hidupnya doyan jalan-jalan ke berbagai pulau di Indonesia, sebelum akhirnya hidupnya berakhir di tangan seorang pedagang ayam di pasar Senen, dibeli oleh Mat Ali penjual Soto dari Madura yang merantau di Jakarta, diolah dengan bumbu-bumbu rahasia keluarga dan jadilah Soto Ceker Ayam yang tersaji di hadapan kita. Kamu menyimak penuh perhatian seolah percaya dengan ceritaku. Dan akhirnya pukul sebelas malam lewat, kita terpaksa menyudahi kencan pinggir jalan kita, saat Mat Ali hendak membereskan warung tendanya karena dagangannya telah habis terjual.

“Kapan-kapan ajak aku makan ke sini lagi, ya,” ujarmu saat aku menyodorkan helm.

“Siap, tuan putri, asal nggak kapok aja makan ceker ayam yang katanya menjijikkan itu,” godaku.

“Nggak jijik kok ah, kan udah dimasak yang bener,” jawabmu seolah ingin meyakinkan diri sendiri, aku tergelak untuk kesekiankalinya. Malam ini kamu begitu lucu di hadapanku.

“Putri, pulang sama ayah saja, ya.” Baru saja aku selesai menyalakan motorku dan kamu bersiap naik di boncengan belakangnya, saat tiba-tiba terdengar suara bariton dari pria paruh baya di belakangmu. Kamu terkejut, apalagi aku.

“A..ayah? Lho, kok bisa ada di sini?” aku mengangguk penuh hormat ke pria yang kamu panggil ayah itu. Yang bulan lalu dengan tegas memintaku menjauhimu. Yang membuat kita jadi nggak bebas lagi bertemu. Yang membuatmu jadi sering berbohong demi kebersamaan kita. Pria yang menjadi penghalang hubungan cinta kita karena perbedaan status, dan agama.

“Sudah malam, ayo kita pulang, Nak,” pak Heru, nama ayahmu, dengan tenang melepaskan helm dari kepalamu, menyerahkannya padaku tanpa perlu menatap wajahku, dan menggandeng tanganmu melangkah menjauhiku. Menuju mobil yang diparkir tak jauh dari situ. Baru kusadari kalau di depan mobil ada ibumu sedang berdiri juga. Wajahnya menyiratkan rasa takut dan khawatir jadi satu. Aku tersenyum sambil mengangguk kepadanya.

Malam itu, kamu tidak pulang bersamaku, melainkan bersama orang tuamu dengan mobil Alphard hitam mereka. Malam itu, jok belakang motorku kembali menjadi dingin, karena aku harus pulang sendirian, sambil menenteng helm satu lagi yang akhirnya tak terpakai. Malam itu, untuk pertama kalinya akhirnya kamu mau menikmati makanan dari bahan dasar kaki binatang. Malam itu, adalah kencan kita yang menyenangkan. Sekaligus kencan terakhir kita. :(

dinoy
terinspirasi habis makan Soto Ceker Ayam di depan Lottemart Fatmawati

:))

Thursday, October 11, 2012

With You, Sehari Bersamamu


Info Buku:
Judul: With You - Sehari Bersamamu
Penulis: Christian Simamora & Orizuka
Penerbit: Gagas Media
Genre: Romance
Terbit: Juli 2012
Tebal: 316 Halaman
Harga: Rp 50.000

Dua penulis dengan kepribadian dan gaya penulisan yang berbeda, disandingkan dalam proyek novel duet oleh Gagas Media yang berjudul ‘With You’.  Ini adalah buku gagas duet yang kedua yang saya baca setelah ‘Kala Kali’ dan terus terang, saya lebih menyukai konsep duet yang ini. Kenapa? Meskipun saya menyukai dua novela yang disandingkan di ‘Kala Kali’, namun saya kurang bisa menangkap dengan jelas benang merah di antara keduanya. Menurut saya lebih baik jika dua novela itu berdiri sendiri. Namun di novel ‘With You’, selain saya menikmati dua cerita yang berbeda di dalamnya, namun saya juga dengan mudah setuju kalau keduanya disandingkan dan memiliki satu benang merah. Apa benang merahnya? Sabar dulu, ya! ;)

‘Sehari bersamamu’ adalah tagline yang ditampilkan di novel ini. Saat pertama kali tahu dari teman kalau dua novela ini sama-sama mengambil setting waktu satu hari, dan diperkuat lagi saat saya membaca keterangan di sampul bukunya, saya seperti berpikir “Hah, serius nih cuma seharian aja ceritanya? Cungguh? Miapaaahh??* *okay, that was too much! :D* Maksud saya, akan seperti apa kisah yang hanya mengambil waktu sehari dituliskan sepanjang setengah novel? Apa nggak maksain tuh adegan-adegannya? Apa nggak ngebosenin? Oke, daripada sok menilai tapi nggak tahu lebih dalam, saya putuskan untuk membeli dan membacanya.

Dua novela dalam ‘With You’ ini masing-masing memiliki judul ‘Cinderella Rockefella’ yang ditulis oleh Christian Simamora dan ‘Sunrise’ yang ditulis oleh Orizuka. Dua penulis yang memiliki karakter berbeda (salah satu penulis sendiri mengungkapkannya di kata pengantar) serasa mewakilkan kepribadian masing-masing di tokoh utama novelanya. Cindy Tan (Cinderella Rockefella) adalah seorang model yang suka bicara ceplas ceplos, cepat menilai orang lain, dan juga jutek-mewakili karakter ekstrover. Sementara Lyla (Sunrise) adalah karakter gadis yang sederhana, pendiam, dan mudah menerima apa yang terjadi di hadapannya –mewakili karakter introver.

Gaya bahasa dua tokoh utama tersebut tentu saja berbeda. Cara pandang dua gadis ini tentang cinta pun tak sama. Apalagi hal-hal yang mereka lakukan saat mendekati atau didekati seorang pria. Hal ini terlihat misalnya saat Cindy bersama Jere. Meski ia nggak mudah menahan dirinya yang sebenarnya terpesona dengan sosok pria itu, namun ia masih bisa mengimbangi sikap Jere saat mereka makan malam berdua. Sementara Lyla masih merasa kikuk setiap kali ia harus bersinggungan dengan Juna, mantan pacar yang saat ingin ia hindari.

Oh ya, tadi saya sempat meragukan tentang apakah cerita yang disajikan menjadi maksa dan membosankan dengan setting waktu hanya sehari? Jawabannya: nggak. Setiap adegan terasa mengalir. Juga selipan flash back ke masa lalu tidak terasa berlebihan. Dan peralihan antara ‘Cinderella Rockefella’ ke ‘Sunrise’ terasa smooth, dengan menjadikan hubungan persaudaraan Cindy dan Lyla sebagai jembatannya.

‘Keduanya mempersembahkan dua cerita cinta yang menemukan takdirnya dalam satu hari saja’ .. dan saya langsung setuju dengan premis yang diajukan tersebut. Jadi apa benang merah yang saya dapat di novel duet ‘With You’ ini? It’s about finding the one, only in one day. :3


dinoy

Wednesday, October 10, 2012

That Should be Me ..


“Fan, kamu nggak apa?” aku bergeming saja saat Antho memanggil namaku. Aku masih terpaku dengan pandangan mataku ke luar mobil, sementara kedua tanganku mencengkeram setir dengan kuat.
“Sejak kapan mereka berdua seperti itu, Tho?”

“Kamu tenang dulu deh, Fan, mungkin ini nggak seperti yang kita lihat. Mungkin ini cuma bentuk keakraban mereka saja sebagai sahabat. Kamu jangan emosi dulu, Fan.”

Aku berpaling dan memandang Antho. “Tho, aku tanya, sejak kapan mereka berdua seperti ini? Tolong jangan sembunyikan apa pun yang kamu ketahui dari aku, Tho.”

Antho menghela napas sebelum menjawab, “Nggak lama setelah kamu berangkat ke Bangkok, Fan, kira-kira sebulanan setelah itu.”
_____
“Sayang, kamu yakin kita sanggup LDR-an? Nggak gampang lho, sayang.”

“Terus mau kamu gimana? Kita putus? Tapi aku sayang banget sama kamu, Fandi .. Cuma dua tahun, kan? Aku akan menunggu, kita pasti bisa, sayang.” Nadamu terdengar merajuk saat kita makan malam di restoran favorit kita. Restoran yang menyajikan sirloin steak terlezat di penjuru kota ini.

Aku merasa berat sekali harus mengabarkan kalau kita akan terpisah dua negara karena pekerjaanku. Perpisahan bukanlah hal yang aku inginkan dari hubungan kita, namun untuk membayangkan nggak bisa ketemu kamu dalam kurun waktu tujuh ratusan hari saja sudah membuatku merinding. Aku takut segalanya akan berubah. Maka dari itu aku mengungkapkan hal ini kepadamu, sekaligus mencari jalan keluar untuk masalah ini.

“Jadi?” tanyaku sekali lagi, “Kamu mau kita tetap pacaran.. jarak… jauh?” aku mengucapkan tiga kata itu seperti mengeja. Aku ingin kamu yakin dengan segala konsekuensinya. Jika kamu yakin, aku pun akan yakin pula untuk melakukannya. Karena aku menyayangimu.

“Nggak akan mudah tapi aku akan berusaha, sayang, kan sekarang sarana komunikasi juga makin banyak. Kita pasti bisa, ya!” kamu mengangguk mantap. Mendadak hatiku terasa lebih ringan karenanya.
_____

“Adly itu teman satu kosku, Fan, jadi aku tahu hampir segala sesuatu yang dilakukannya. Jadi aku nggak mau kamu sampai merasa aku memprovokasimu, ya.”

“Aku tahu, Tho, aku tahu itu. Makanya aku meminta kamu menunjukkan kepadaku langsung akan hal ini.”

“Dan kamu juga tahu kan kalau Rosa dan Adly bersahabat sejak lama? Maaf, aku juga sering melihat Rosa main ke kos-anku, tentunya untuk bertemu dengan Adly. Menurutku, untuk ukuran sahabat, keakraban mereka agak berlebihan. Tapi ya, aku nggak mau begitu saja menilai buruk, aku mau kamu menyimpulkan sendiri.” Lagi, aku mengangguk menerima penjelasan Antho. Aku sudah mengenal Adly sejak sebelum jadian dengan Rosa. Adly adalah sahabat Rosa sejak SMA, gara-gara dia juga aku berhasil mendekati Rosa dan menjadikan dia sebagai pacarku.
_____

Rosa: Malem, sayang, maaf ya aku lama balas whatsappnya, baru pulang, nih. Kamu belum bobok?
Fandi: J Nggak apa, sayang, aku belum tidur kok, masih nonton tv nih. Ah, sinetron Thailand parah banget, deh. :))
Fandi: Kamu dari mana, sayang? Kok malem banget pulangnya?
Rosa: Oh.. aku baru aja balik dari kos-nya Adly. Kasian sayang, Adly lagi sakit demam, makanya aku datang buat jenguk sekaligus kasi makanan. Jomblo gitu mana ada yang ngurusin? :))
Fandi: Ooo. Kasian juga itu bocah. Terus gimana, udah mendingan belum?
Rosa: Udah lumayan turun sih, panasnya. Eh sayang, besok lanjut lagi ya ngobrolnya, aku nguantuuk banget nih, L
Fandi: Okay! Miss you, sayang, Nite .. :*

Mataku terpaku menatap iPhone di genggamanku. Namun setelah menunggu sekitar sepuluh menit, tak ada lagi balasan dari Rosa. Ah, mungkin gadisku terlalu lelah sehingga langsung tertidur. Lebih baik aku bersiap untuk beristirahat juga.

*
Saat pagi menjelang, aku langsung mengecek layar iPhoneku. Ada notifikasi whatsapp di layar utama. Pasti Rosa membalas ucapan kangenku semalam, pikirku. Dengan semangat aku mencari fitur dengan ikon berwarna hijau itu.

Tania: Morning, Fandi. Make sure you won’t be late today; we have something to be discussed before meeting at 10, remember? ;)

Ah, dari cewek Filipina, rekan kerjaku di kota Bangkok ini. Aku kembali memeriksa percakapan terakhirku dengan Rosa semalam. Benar saja, tidak ada pesan baru yang masuk, pesan terakhir adalah saat aku mengungkapkan kerinduanku. Hhhh… Jariku dengan cepat mengetikkan pesan baru di bawahnya.
Fandi: Pagiii, Rosaku yang cantik. Udah bangun, kan? Ayo semangat ya, hari ini, kecup sayang dari Bangkok. :*

Lalu aku beranjak mandi.
_____

“Apa Adly pernah cerita, kalau dia sedang dekat dengan seorang perempuan, Tho?”
Aku kembali menanyai Antho sambil terus mengawasi gerak-gerik dua orang yang sedang makan bersama di sebuah kedai makanan Italia. Saling menyuapkan dua jenis pasta yang berbeda dari piring mereka. Ah, aku muak melihatnya.

“Nggak pernah, Fan, satu-satunya gadis yang aku lihat bersamanya baik di kos maupun di kampus, ya Rosa. Selebihnya, Adly paling-paling pergi bareng gank cowoknya.”

“Biasanya kamu melihat mereka di mana aja?”

“Di kantin kampus, kadang-kadang di ruang baca, dan seringnya ya, di kamar kos Adly. Fan, sudahlah, lebih 
baik kamu menanyakan langsung pada Rosa daripada curiga nggak jelas gini. Belum tentu kan mereka seburuk yang kita kira, mungkin saat itu Rosa sedang meminta bantuan kepada Adly, aku juga nggak bisa memastikan hanya dengan menduga-duga.”
“Hhhh…”
_____
Malam itu, aku ingin memberi kejutan dengan meneleponmu di hari ulang tahunmu. Sejak pagi hingga seharian aku menahan diri untuk nggak mengucapkan selamat ulang tahun padamu, pura-pura lupa. Tetap mengobrol seperti biasa, tapi mengacuhkan status whatsappmu yang sedang menunjukkan kalau hari itu usiamu bertambah setahun. Lalu tepat pukul 21:35 Waktu Bangkok, atau sama saja dengan WIB, aku menghubungimu. Tepat di jam kelahiranmu. Aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan suara terbaikku untuk menyanyikan lagu ulang tahun buatmu, namun sejauh yang bisa didengar telingaku hanyalah nada tunggu. Sampai sekitar delapan kali nada tunggu itu berbunyi, hingga tersambung otomatis dengan kotak suara. Aku nggak menyerah. Aku nggak mau ngomong sama mesin, aku harus mengucapkan langsung padamu. Maka kucoba lagi sambungan internasional ke nomor telepon genggammu. Akhirnya di nada tunggu kelima, telepon pun tersambung.

“Haaap..”

“Halo?”

“ … ”

Aku terkejut dan buru-buru mengatupkan bibirku yang siap menyanyikan lagu selamat ulang tahun, saat mendengar suara yang jelas-jelas bukan suaramu. Ini suara seorang pria.

“Eh, halo ini Fandi, ya? Sori ya Fan, handphonenya Rosa lagi sama gue. Eh iya, ini Adly. Jadi tadi kita pergi bareng terus Rosa mampir ke kos gue buat ambil buku kuliah. Eh, handphonenya ketinggalan, deh.”
Aku mencoba mencerna penjelasan si penerima telepon. Oh, begitu ceritanya. Pantas saja daritadi Rosa nggak cerewet di whatsapp seperti biasanya. Rupanya handphonenya tertinggal di tempat Adly. Aku mengurut kepalaku, merutuki kebodohanku sendiri yang sok mau ngerjain pacar sendiri, akibatnya malah sekarang aku nggak bisa mengucapkan ulang tahun padanya.

“Oke deh, thanks ya Dly. Tolong bilang aja sama Rosa kalau ada telepon dari aku, pas hp ini udah balik ke dia.” Aku menutup sambungan telepon dan menghempaskan diriku ke tempat tidur. Menenggelamkan kepalaku di balik bantal. Aarrgh, aku rindu sekali pada Rosa!
_____

“Menurutmu, apa wajar sepasang sahabat berlaku mesra seperti itu?” telunjukku mengarah pada seorang perempuan di dalam kedai itu yang kini dengan telaten membersihkan mulut teman makannya dengan tisu. Mereka berpandangan sambil tersenyum saat perempuan itu menunjukkan perhatiannya. Aku sungguh muak melihatnya, tapi sampai detik ini aku masih harus menahan emosiku.

“Harusnya sih nggak begitu, tapi entahlah,” jawab Antho tak enak.

By the way, memangnya kamu nggak merasa sikap Rosa berubah sama kamu? Seharusnya kamu bisa menyimpulkan sendiri kan dari hubungan kalian selama ini. Rasanya nggak semudah itu buat seorang perempuan membagi perhatiannya kepada dua orang pria sekaligus. Ya, kecuali dia play girl. Tapi rasanya Rosa bukan tipe cewek seperti itu, deh.” Antho mencoba menganalisa. Aku mengangguk-angguk kecil.

“Di bulan-bulan pertama, Rosa memang masih hangat, Tho. Dia sering bilang kalau dia kangen sama aku, pengin banget ngobrol sama aku. Dan kalau kami sedang berbincang di telepon, dia sering merajuk minta dipeluk. Membuat aku semakin rindu saja. Tapi rasanya, itu hanya berlangsung sekitar tiga bulanan, deh. Setelah itu aku baru sadar kalau dia semakin cuek. Semakin jarang menyapaku di whatsapp kalau bukan aku yang menyapa duluan. Percakapan yang dulu panjang pun juga sekarang semakin pendek. Dia juga semakin jarang mau ditelepon, ada aja kesibukan yang menjadi alasannya. Ya, aku mencoba maklum aja sih. Di suatu hubungan jarak jauh, memaksakan untuk terus dekat adalah kunci utama untuk perpisahan, dan aku nggak mau itu terjadi. Sampai akhirnya dua minggu lalu atasanku meminta untuk aku ke Jakarta karena urusan kantor, dan aku berinisiatif memberinya kejutan. Nyatanya, malah aku yang dikejutkan seperti ini. “

“Maaf ya Fan, kamu harus tahu hal yang nggak enak kayak gini,” ujar Antho.

“Nggak lah, Tho, justru aku yang terima kasih sama kamu karena udah mau nunjukkin sama aku. Kalau nggak, aku nggak tahu gimana reaksiku kalau tahu hal ini sendirian, bisa kalap nggak jelas deh. Haha!” aku tertawa, Antho ikut tertawa sambil menepuk pundakku.

“Eh, Fan!” Antho berseru sambil dagunya mengarah ke arah restoran yang sedang kami amati. Sepasang yang tadi tampak romantis makan bersama kini sedang melangkah keluar restoran. Mereka berbincang akrab, si perempuan melingkarkan tangan kanannya di lengan kiri si pria. Si pria tersenyum lebar sambil menceritakan sesuatu entah apa yang tampak lucu, sehingga si perempuan tertawa. Aku membuka pintu mobilku.

“Fandi, mau ke mana, kamu?” sergah Antho. Aku sudah nggak memedulikan lagi seruan sahabatku itu. Aku melangkahkan kakiku cepat, mendekati dua orang itu sebelum mereka memasuki sebuah taksi. Ketika aku sudah ada di hadapan mereka, si perempuan tampak tercekat dan mematung. Tapi tangannya tetap dilingkarkan di lengan si pria, seolah sudah ditempeli lem. Si pria yang kikuk lantas tersadar dan buru-buru melepaskan tangan perempuannya.

“Halo, Rosa apa kabar,” aku mencium pipi kirimu dengan lembut, ”aku perlu bicara sama kamu. Yuk!” dengan kalem namun tegas aku menggandeng tanganmu yang tadi bergelayut pada Adly. Beranjak pergi meninggalkan pria yang berusia tiga tahun lebih muda dariku itu.


***

That should be me holding your hand
That should be making you laugh

That should be me this is so sad

That should be me, that should be me

That should be me feeling your kiss

That should be me buying you gifts
This is so wrong, I can't go on
'Til you believe that you should be me
(That Should be Me by Justin Bieber feat. Rascal Flatts)  

I like this song and come up with an idea to wrting this short fiction last night ^^
dinoy











Ketika Saya Diminta untuk Menulis ..

metrolic.com
Otak saya sedang lelah karena sedari kemarin mencoba mengerjakan tugas untuk seleksi mingguan dari salah satu penerbit. Seleksi apa? Seleksi kepenulisan pastinya. Lebih tepatnya lagi, tanya saya via jalur pribadi saja, ya! ;)

Menulis adalah salah satu hobi saya, dan hal yang sempat menjadi passion saya. Kenapa saya bilang sempat? Karena hobi itu hanya berakhir menjadi hobi dan saya tidak pernah benar-benar menyeriusinya lagi. Well, kirim cerpen ke koran dan majalah sih pernah lah, satu-dua kali waktu masih remaja dulu. Ditolak, dan belum pernah mencoba lagi.
Menyerah? Mungkin saja. Saya sempat menyimpulkan bahwa saya lebih cocok menjadi seorang pembaca saja, belum mampu menjadi penulis yang telaten. Sudah berulang kali saya mencoba menulis naskah novel, tapi selalu terhenti sampai di tengah-tengah saja. Niat sudah kuat, namun apa daya kekonsistenan tidak berjalan seiringan. Ada saja alasan untuk pembenaran saya menyerah. Entah alasan kerjaan, atau memang idenya belum dapat lagi.

Namun akhir-akhir ini passion itu menyapa lagi. Saya mulai rajin membaca novel, bahkan untuk genre yang sebelumnya tidak pernah saya baca. Beberapa kali juga saya membantu teman untuk memeriksa ulang naskah yang akan diterbitkannya sebagai novel. Dari situ juga saya mulai melatih diri menulis resensi-resensi novel yang sudah saya baca. Tidak semua novel sih, pastinya novel yang saya sukai yang akan saya tulis resensinya. Haha!

Lalu kesempatan itu tiba, ketika saya membaca pengumuman dari sebuah penerbit, bahwa mereka akan membuka kelas penulisan jarak jauh, dengan sasaran akhir menulis novel. Hanya beberapa orang saja yang boleh mengikuti kelas ini dengan mengikuti seleksi dulu sebelumnya. Syarat untuk mendaftar ikut seleksi mudah saja, hanya mengirimkan email kosong. Wow! Lalu saya pun mendaftar tanpa banyak berpikir.

Tugas-tugas mingguan pun mulai datang. Mulai dari menulis fiksi mini sepanjang 300an kata, sampai yang terakhir menulis cerita pendek sepanjang 3000an kata. Eits, jangan salah. Peserta tidak diperkenankan sembarang menulis cerita, karena tema dan setting mereka yang menentukan. Bahkan ada salah satu tugas  yang meminta kita menulis cerita pendek tentang seorang ayah yang ditinggal mati oleh putranya, namun kami nggak boleh menggunakan kata-kata yang menunjukkan langsung peristiwa itu, seperti: meninggal, tewas, kecelakaan, kubur, sakit, dan sejenisnya.

Di setiap tugas yang diberikan saya selalu tertantang memutar otak. Saya akui, itu nggak mudah. Menuntut untuk menggali kreativitas dan ide-ide yang baru. Di sinilah ketelatenan dan kekonsistenan saya diuji. Saya diminta untuk menulis, namun bukan sepenuhnya seperti yang saya mau. Apa jadinya ketika kita diminta melakukan hobi, namun didikte saat melakukan hal tersebut? Bosan? Kesal? Jengkel? Ya, saya tidak ada alasan untuk mengeluh, kan ini juga untuk keperluan saya juga. Saya bisa saja dengan mudah menyerah dan mengundurkan diri dengan tidak mengerjakan tugas, tapi hal itu hanya akan membuang kesempatan saya. Toh kalau saya mengerjakan sampai akhir, belum tentu juga saya yang terpilih. Tapi kalau saya mundur ditengah-tengah, sudah jelas saya nggak akan terpilih, hehee ...

Jadi sekarang saya menulis artikel di blog ini ditengah tengah kemacetan harus menulis 3000an kata untuk sebuah cerita pendek, namun 90% dari jumlah kata itu harus berupa dialog, tentunya dengan petunjuk yang mereka tetapkan. Terakhir sih saya baru bisa membuat 85% dialog dari keseluruhan cerita yang saya buat sejak kemarin sore dan terus saya revisi hingga malam dan terakhir, barusan tadi (pukul 12:50). Ah, saya nggak mau menyerah, pasti nanti akan ada ide muncul lagi.. Doakan saya lanjut hingga tahap akhir, ya! ^^

dinoy  

Monday, October 8, 2012

Pancake Istimewa Buatanmu


Aku duduk di kursi tinggi di dapur apartemenmu pagi itu. Menyaksikan ritualmu membuatkan pancake favoritku untuk sarapan setiap aku singgah di kediamanmu. Kamu tampak seksi saat menuangkan tepung terigu, garam, dan susu cair ke dalam wadah plastik. Juga saat dengan cekatan kamu menceraikan kuning telur dari putihnya dan mempertemukan bulatan itu pada adonan tadi di dalam wadah putih. Sambil mengocok putih telur di sebuah baskom, matamu menatapku mesra dan sudut bibirmu terangkat ke atas. Senyum termanis yang kuterima pagi ini.

“Kalau memasak kue itu perasaan hatinya harus lagi seneng, biar adonannya juga tercampur pas. Kayak pagi ini suasana hatiku lagi gembira, karena ada kamu!” dengan cepat dan tak terduga kamu menowel ujung hidungku usil. Setitik tepung terigu yang tak terpakai kini berada di atas hidung tak mancungku ini. Aku memberengut kesal sambil membersihkannya dengan tanganku.

“Masak aja yang bener, nggak usah ngegombal gitu. Laper, nih!” seruku pura-pura marah. Kamu tertawa lagi. Putih telur yang sudah terkocok hingga kaku lantas berpadu dengan adonan tepung terigu dan kawanannya yang telah lebih dulu kau campur rata. Kamu melanjutkan ritualmu sambil bersenandung lucu. Lagu anak-anak yang rasanya nggak nyambung untuk dinyanyikan oleh pria seusiamu. Namun tak urung aku tertawa juga mendengarnya.

Aku punya anjing kecil,
Kuberi nama Helly ..
Dia senang bermain-main,,
Sambil berlari-lari..
Helly !
 [Guk .. Guk .. Guk !!]
Kemari ! 
[Guk .. Guk .. Guk !!]
Ayo lari.. lariii…

Di setiap bagian kata ‘Helly’ dan ‘Kemari’, kamu akan menyodorkan alat pengaduk adonan kepadaku, seolah sedang menyodorkan microphone, dan aku akan spontan menirukan suara anjing yang dipanggil ‘Helly’. Sial, aku dikerjain! :D

Dan sekarang tiba waktunya pada momen yang istimewa dalam membuat pancake ini, momen yang kusukai karena semakin menunjukkan keahlian memasakmu: memasak adonan di atas wajan teflon yang telah dipanaskan dan diolesi margarin. Kenapa aku menyukainya? Karena caramu menuangkan adonan dengan sabar mengingatkanku pada kenapa aku jatuh cinta padamu. Sedikit demi sedikit kamu memberikan perhatian yang membuatku merasa disayangi. Dengan telaten kamu menunggu adonan itu untuk beberapa saat, hingga pencampuran tepung terigu-telur-garam-susu cair itu tampak berpori di permukaan dan pinggirannya sedikit mengeras. Setelaten itu pula kamu menunggui aku menerima segala bentuk rasa sayang yang kau curahkan hingga aku setuju menjalin hubungan ini. Lebih dari pertemanan biasa.

Kini di hadapanku terhidang dua pancake yang telah matang. Aroma pancake yang masih panas berkelebat dan terasa nyaman di hidung, mengingatkan pada masa kecil saat ibuku dulu sering membuatkanku kue pukis. Kau tumpang tindih dua pancake itu di atas piring serupa daun, lalu dengan gerakan slow motion seolah hendak menggodaku, kau tuangkan susu kental manis rasa cokelat mengelilingi pancake itu. Aku menelan air liurku sendiri, tak sabar hendak mencicipinya. Dengan cepat kuraih garpu di sebelah kanan piring, namun tanganmu menahanku.

“Eits, tunggu dulu, kau melupakan sesuatu?” kerlingmu. Aku memicingkan mataku, mencoba menerka. Apalagi yang kurang? Dasar usil, nggak lihat apa ini air liur hampir menetes?

Kamu beranjak menuju kulkas di belakangmu, mengambil sesuatu. Ah, dua. Kamu mengambil dua butir stroberi kecil yang masih tampak segar. Dengan cekatan kamu membelah buah merah itu dan meletakkannya di atas pancake cokelatku. Hanya untukku.


Photo credit: Donal (@monyetterbang)

“Silakan, nona.. ‘Pancake Strawberry Lips’ spesial untuk sarapan anda. Dimasak khusus oleh seorang chef yang sangat mencintai anda.” Aku mendelik mendengar gombalanmu, padahal diam-diam hatiku tersanjung.

Kupotong pancake itu dengan garpu, dengan khidmat menyuapkan potongan kecil itu ke dalam mulutku. Mengunyahnya pelan-pelan. Membiarkan gigi dan lidahku mengecap makanan yang telah kusaksikan sendiri cara pembuatannya itu. Teksturnya lembut, namun sekaligus kuat. Lembut yang tidak lembek. Terasa pas. Seperti kecupan pertama yang kamu berikan di pipi saat kita jadian dulu. Lembut, namun kuat membekas di memoriku. Aku tersenyum lebar. Kamu memandangku penuh harap. Ini bukan kali pertama kamu membuatkan pancake untukku, namun kamu selalu penasaran apa yang akan kuucapkan tentang hidangan yang kamu sajikan itu. Aku masih diam, sengaja membuatmu menunggu. Kali ini kutusukkan garpuku pada potongan kecil pancake yang terlumur cokelat, sekaligus mencucukkan ujung-ujung garpu pada buah stroberi yang terjatuh.

Kres! Lidahku menemui perpaduan rasa manis-asam menjadi satu, segar sekali. Aku tertawa melihatmu menyilangkan tangan di dada. Masih menunggu komentarku.

“Kamu tahu apa yang membuat pancake ini istimewa?”

Kamu tersenyum penuh percaya diri. “Aku?” jari telunjuk kananmu kau sentuhkan ke dada.

“Bukan, piringnya, aku suka warna hijau. Haha!”
Kita tergelak bersama.
. . . . .

empat ratus lima puluh tiga hari setelahnya

Aku melihatmu duduk dengan murung. Di kedai pancake yang saat itu terlihat cukup ramai. ‘Mr. Delicious Pancake’, adalah tempat yang berhasil kamu dirikan dengan kerja kerasmu. Kamu terlihat begitu gembira dengan pencapaian ini. Apalagi aku. Aku pun tak sabar ingin melihat kamu berbicara sepatah dua patah kata di hari peresmian kedai pancake dengan dekorasi warna hijau tosca ini. Warna yang kau pilih karena aku menyukainya.

Sudah kusiapkan gaun termanis yang kumiliki. Merias diriku dengan cantik namun tak berlebihan, dan mobil pun telah dipanaskan dan siap untuk dikendarai. Siapa yang menyangka kali itu hujan akan turus dengan deras? Siapa yang menyangka ada saja orang bodoh yang menyetir dalam keadaan mabuk? Aku membanting setir ke kanan, berusaha menghindari tabrakan, namun terlambat. Mobilku terguling dan aku dilarikan ke Rumah Sakit. Ragaku tak terselamatkan karena benturan keras di kepalaku dan kehilangan banyak darah …

Satu setengah tahun berlalu setelah kejadian itu. Aku mengabdikan diri untuk menjadi penjagamu yang tak kasatmata. Melihatmu setiap hari berjuang untuk mengatasi kesedihan akan kepergianku. Melihatmu setiap pagi membuat pancake persis seperti favoritku. Lalu memakannya sendiri dengan pandangan kosong. Kelak, kamu akan tahu kalau aku nggak pernah pergi. Kamu akan tahu kalau hidangan di surga tak ada yang seistimewa pancake cokelat-stroberi buatanmu. Itu semua karena satu alasan sederhana: tak ada yang mencintaiku di surga, setepat kamu melakukannya untukku. :)

Dinoy

Thanks Donal (@monyetterbang) foto ‘Pancake Strawberry Lips’ nya udah jadi ide buat cerita ini, juga keterangan singkat tentang cara memasak pancake. Sukses ya kak, kafe pancake-nya .. :D

Mencecap cerita di setiap rasa.. Rasa Cinta



Judul buku: Rasa Cinta
Penulis: Ariev Rahman, dkk
Penerbit: Bukune
Kategori: Fiksi, Kumpulan cerpen
Terbit: September 2012
Harga: Rp 45.000

Mencecap cerita di setiap rasa.. Rasa Cinta

Kumpulan cerita ini diawali dengan Loenpia Semarang yang setiap gigitannya memberi jeda sebelum bertemu dengan kekasih gelap. Lalu berlanjut dengan flash fiction dan juga beberapa puisi lain dengan benang merah kuliner. Ada kenangan yang terselip di balik setiap makanan dan minuman favorit. Roti bakar cokelat keju yang membuat pilu karena teringat akan cinta yang tak direstui, filosofi mi tarik yang memberi persepsi baru akan hubungan cinta jarak jauh, legitnya bika ambon yang membawa rindu akan kehadiran seorang ayah, atau sepoci teh yang memberi hangat pada hati yang terus mendamba kehadiran dia yang teristimewa.

Saya terkagum akan ide yang ditawarkan dalam buku ini, mengolah dan mendeskripsikan setiap rasa yang dikecap lidah dan mengaitkannya dengan perjalanan hidup anak manusia. Buku ‘Rasa Cinta’ terbagi dalam 3 kategori: Appetizer, Main Course, dan Dessert. Dan seperti judulnya, setiap cerita dalam tiga kategori tersebut menghadirkan makanan atau minuman yang sesuai dengan kategorinya. Misalnya Roti bakar sebagai hidangan pembuka (Appetizer), Nasi Goreng sebagai makanan utama (Main Course), dan Cheesecake sebagai sajian pencuci mulut (Dessert). Tujuh penulis dengan cara menulis kisah yang berbeda, namun disatukan dalam satu buku dengan peletakan cerita yang membuat saya sebagai pembaca penasaran untuk menyimak lagi kisah apa yang ditawarkan selanjutnya. Memang bukan sebuah novel yang setiap babnya akan menyambung cerita dari bab sebelumnya, namun justru cerita-cerita lepas yang disajikan tidak terlalu panjang dan  membuat saya menagih untuk menyelami rasa apa lagi yang akan dikisahkan.

Meski secara keseluruhan saya menyukai kumpulan kisah pendek dan puisi ini, namun tetap saya harus memberikan kritik untuk buku ini. Pertama, secara teknis. Hal yang sepertinya ringan namun berulang yang menjadikan mengganggu: lumayan banyak salah tulis alias typo. Misalnya yang bikin gemes: ‘es kepala muda’ dan ‘santan kepala’ :D Kedua, karena ini konsepnya adalah menceritakan tentang kuliner yang membawa kita pada sebuah kisah, untuk beberapa cerita saya merasa agak memaksakan dan makanan atau minuman yang ada di dalamnya seperti sekadar cameo saja, atau mungkin tuntutan untuk memenuhi halaman buku? Semoga nggak begitu :D. Ketiga, saya harus ‘menganugerahi’ cerita paling gengges (ganggu) pada ’Dua Tangkup Cinta’ milik Roy Saputra. Ceritanya dari awal saya baca di kategori Appetizer, ah mbulet lah, pikir saya. Sepertinya memang itu konsep yang ditawarkan si penulis, tentang tiga orang yang merancangkan skenario saling menjebak untuk memanfaatkan seseorang. Namun ternyata cerita itu masih dilanjutkan di Main Course dan Appetizer yang akhirnya ketahuan apa maksud dari kembuletan itu. Tapi tetap saja, saya nggak suka dengan jalan cerita yang menurut saya maksa ini. Maaf Roy, sepertinya (tulisan) kamu memang bukan selera saya sejak di ‘Trave(love)ing’, hehee ..

Jadi sekali lagi, secara keseluruhan saya menyukai buku ini. Sebagai teman bacaan yang ringan yang membawa suasana melankolis dan komedi. Sebuah konsep baru yang ditawarkan di antara keriuhan buku roman dan kisah perjalanan. Selamat membaca, selamat mencecap rasa! :D 

dinoy

Friday, October 5, 2012

Seujar ‘Selamat Tinggal’ di Petak Sembilan

cast: @harry_mdj & @duwdr

“Kita berbeda, mas, aku ndak bisa ..”

Harry menghela napas panjang, sambil memandang wajah Ulfa, gadis yang disayanginya.

“Kita ini sama-sama manusia, Ul, semua pasti masih bisa diusahakan kalau kita mau. Kamu mau, kan?” tanya Harry perlahan.

“Mas ..” Ulfa meneliti paras muka pemuda yang dicintainya itu.

“Kalau aku ndak mau, aku ndak akan menerima kamu dari awal. Aku juga sayang banget sama kamu, tapi kita udah terlalu lama mengusahakan ini. Tapi, jalannya ndak pernah bisa gampang selama kita masih tetap menjadi diri kita yang sekarang ini,” ujar Ulfa pelan, berusaha untuk nggak menyakiti perasaan Harry.

Lagi, Harry mengela napas. Sorot matanya yang sendu terus menelisik paras ayu gadisnya.

“Kita bicarakan lagi nanti, sekarang kita jalan dulu yuk, temani aku membeli kue bulan untuk acara keluargaku.”

Lalu mereka berdua berdiri dan mulai melangkah. Menyibak keramaian kawasan Petak Sembilan di siang hari yang gerah itu. Harry dan Ulfa menyisiri jalanan panjang nan kecil yang diisi oleh pedagang pakaian, kepingan dvd bajakan film dan lagu mandarin, juga aneka jajanan yang terutama moon cake, kue khas dari China.
Di suatu sudut mereka berhenti, Harry mulai memilih-milih kue bulan pesanan ibundanya.


“Kamu paling suka yang rasa apa, mas?” tanya Ulfa dengan nada ceria saat Harry meneliti kue-kue terbaik yang dijajakan di satu toko. Di atas toko itu tertulis merk andalan kue bulan tersebut: Sin Hap Hoat.

“Ketan hitam rasanya enak banget. Kamu udah pernah coba belum?“ pertanyaan Harry disambut dengan gelengan kepala oleh gadis kurus itu.

“Kalau gitu kamu perlu cobain satu, aku bungkusin buat kamu yang rasa ketan hitam. Kamu pasti suka!”

“Silakan Ko, moon cakenya. Jangan lupa lain kali mampir lagi ya, sama noniknya juga!” seorang ibu berkulit putih dan bermata sipit menyerahkan bungkusan kue bulan yang dibeli Harry.

“Hahaha! Gimana toh ibu itu, masak kulit jawa begini dibilang ‘nonik’!” Ulfa berseru geli meresponi perkataan penjaga toko tadi. Mereka sudah berjalan meninggalkan toko moon cake.

“Hehehe, mukamu tuh agak kecinaan!” balas Harry sambil menggenggam tangan Ulfa.

“Mas, aku laper, aku mau makan toge goreng itu, ya,” kata Ulfa di tengah perjalanan. Harry melihat jam di pergelangan tangannya.


“Oh, kamu aku tinggal sebentar nggak apa? Aku mau sembahyang dulu di Vihara gang depan situ,” Harry menunjuk ke  depan, ke arah sebuah gang dengan aksara mandarin tertulis di atasnya. Ulfa mengangguk. “Aku tunggu di sini, ya.”

Mereka berpisah sejenak. Sembari berjalan Harry terus memikirkan tentang hubungan keduanya. Sudah dua tahun mereka berpacaran, dengan identitas yang berbeda yang melekat pada diri mereka. Harry lahir dan dibesarkan di keluarga peranakan China, sementara Ulfa adalah gadis Jawa yang berasal dari Semarang. Ulfa merayakan Idul Fitri, Harry khusuk bersembahyang di Candi Borobudur kala Waisak tiba. Perbedaan yang mereka sadari sedari awal, namun tak membuat mereka berhenti saling mencintai. Tapi setengah tahun belakangan, orang tua Ulfa mendesak untuk dia mencari pasangan yang seiman. Keluarga Harry, meski tidak bisa dibilang kolot, namun lebih menginginkan anaknya bersanding dengan wanita peranakan China pula. Lambat laun perbedaan itu mau tak mau menjadi masalah krusial di antara keduanya. Hari ini, di Petak Sembilan, mereka sepakat untuk mengambil keputusan akan hubungan mereka, dan mencari jalan keluar.


Setengah jam kemudian

“Udah selesai, mas?” Ulfa melihat Harry menghampirinya di tempat ia makan toge goreng.

“Udah,” jawab Harry tersenyum, “gimana toge gorengnya? Enak? Udah kenyang, belum?”

“Wueeeenak, mas! Ini baru pertama aku makan toge goreng. Seger dan ngenyangin! Kapan-kapan mau lagi, ah!” Keduanya lantas tergelak. Lalu sejurus kemudian tawa mereka terhenti dan mereka saling menatap.

“Mas, masalah yang tadi, aku …” Ulfa menggantung kalimatnya.

“Iya, aku tahu, Ul. Kamu benar, kita nggak bisa.” Kali ini Harry mengatakannya dengan wajah lebih tenang. Tadi selama berdoa ia telah menimbang masalah mereka matang-matang. Sepertinya, hanya ada satu jalan keluar terbaik untuk masalah mereka berdua. Ulfa menelan ludah mendengar perkataan kekasihnya.



“Kamu ndak apa apa, mas?” ujar Ulfa kembali memastikan. 

Harry tersenyum, Ulfa merasa lega. 

Walau berat, akhirnya keputusan tetap harus diambil. Mereka berpisah. Di Petak Sembilan. 


Just a flash fiction, not a true story
inspired by a trip to Petak Sembilan at Sept 20th, 2012 with @monyetterbang, @harry_mdj, @callmematheo, @duwdr, @reitoku
dinoy