Sial ! Gara-gara mas-mas Thailand tukang ojek
itu salah kasi penunjuk jalan, sekarang aku harus balik arah lagi dan naik
jembatan penyeberangan ... LAGI! Untuung.. aja tadi pas bayar karcis bis tanya
dulu sama pak kondektur, jadi tahu kalo bis yang kunaiki bukan yang ke arah
Khaosan. Mana gerimis nya berangsur menderas lagi,, this is my last night in Bangkok, for God’s sake ! Akhirnya aku
dengan menenteng tas belanjaan yang lumayan bkin pegel tangan ini, sampai juga
dan duduk manis di halte bis di depan National Stadium, nunggu bis 05 ke arah
Khaosan. Sabar Dini, sabar .. sebentar
lagi aku bakal sampe hostel, mandi air hangat, terus nyari makan deh di sekitar
hostel …
“Excuse
me, do you know bus no 05 to Khaosan Road? Is that bus gonna passing this
street ?”
Sambil duduk aku mencuri dengar percakapan
seorang bule cowok muda yang berdiri cuma beberapa langkah dari tempatku. Oh,
rupanya dia sedang bertanya pada salah satu pemuda lokal yang juga nungguin bis.
Ha! Mau ke Khaosan juga rupanya… Asyik deh, ada temennya. Dan nggak lama
kemudian ada satu bis kota mendekat, aku memicingkan mata untuk memastikan
bahwa itu adalah bus yang kutunggu-tunggu. Dan segera aku mengangkat plastik
belanjaan yang tadi kuletakkan di bawah di dekat kaki, dan bergabung dengan
beberapa orang lain yang menaiki bis itu, termasuk si cowok bule.
Mantep ! Bus nya lagi penuh pula, aku harus
pasrah berdiri sambil berpegangan pada kursi di dekat ku. Bis melaju dengan
kecepatan standar, dan aku harus mempertahankan kaki ini tetap berdiri pada tempatnya.
Si bule yang nggak kebagian tempat duduk, berdiri dengan mimik wajah ragu di
dekatku. Sekali lagi dia memastikan kalau bis ini bakal lewat Khaosan, ke
kondektur yang sedang menjalankan tugasnya mengumpulkan uang dari para
penumpang.
Hehee, si bule ini
nggak yakin banget sih bakal sampe Khaosan, pikirku. Ah, aku
ajak ngobrol aja deh ..
“Hey! Are you gonna go to Khaosan Road?” aku bertanya sambil mengibaskan tangan di
depan mukanya.
“Yes, I am.
And you ?” jawabnya, sambil bertanya balik.
“Yes, I’m
going back to the hostel. Which hostel do you stay?” aku bertanya lagi
menyambung percakapan.
“Rainbow Hostel,” jawabnya ramah namun segera
membuatku melotot.
“What?!
I’m staying in that hostel too since last night. I’m in mixed dorm. Are you
… “
“You are
in room number 602??” tanyanya yang lebih tepatnya hanya sekedar
mengkonfirmasi. Dan kami kemudian tertawa, menyadari bahwa kami bukan hanya
memiliki arah perjalanan yang sama, tapi bahkan hostel dan kamar yang sama ! Luck coincidence !
Kuteruskan obrolan ini, menghiraukan rasa lelah
yang didera tubuh, terlebih tangan dan lenganku. Sambil mengobrol, diam-diam aku
memperhatikan paras muka si bule yang belakangan kukenal bernama Florian –
akrab dipanggil Flo – dan berasal dari Munich, Jerman ini. Cute juga ini bule,
dengan kacamata yang bertengger di wajah nya membuatnya berpenampilan nerd nerd gimanaa,, gitu.
“Jadi, kamu masih inget arah jalan ke Khaosan
Road?” pertanyaan Flo – dalam bahasa Inggris tentunya – membuyarkan kegiatanku
yang diam-diam menelisik wajahnya dan menyadarkan bahwa sebenarnya aku juga
nggak inget pasti patokan si jalan Khaosan ini !! Ya gimana mau inget coba, aku
baru semalam sampai, baru tadi pagi memulai perjalanan, dan sekarang sudah
malam pake acara hujan lumayan deras pula !
Sambil melongok jendela bus, aku menjawabnya
dengan mengatakan, sebenernya aku sih agak lupa juga ya …
Flo tergelak, yang menunjukkan bahwa ternyata
kami sama-sama nggak tahu harus turun di mana.
Yah Flo, kalau harus
nyasar bareng bule secakep kamu mah, saya mau-mau saja, batinku.
Tiba-tiba bis berhenti, tiga bule cewek
mendekati kami, oh tepatnya mendekati pintu bus di dekat kami, tapi salah satu
nya berhenti di dekat Flo.
“This is Khaosan
Road,” cewek itu memberi tahu Flo tanpa ditanya. Ah, rupanya dia mendengar
percakapan kami, Puji Tuhan … Dan kami bergegas turun. Hujan rupanya masih
belum memberi ampun pada kota Bangkok, sehingga kami perlu membuka payung kami
masing-masing, dan berjalan menyusuri trotoar. Sembari berjalan pelan dan
berusaha mengingat lagi arah ke Rainbow Hostel, kami bercakap-cakap di tengah
derasnya hujan. Flo menceritakan tentang traveling nya ke Myanmar dan Laos,
sebelum ia tiba di Bangkok untuk mengakhiri rangkaian travelingnya ini. Dari
penuturannya aku tahu kalau dia baru saja lulus kuliah jurusan Biologi di salah
satu Universitas Science di Munich.
Hadeeeuh, brondong .. brondong bule .. brondong
cakeeepp …
Aku sudah membayangkan untuk menyempatkan diri
berfoto dengannya saat di hostel, kemudian pamer ke temen-temen di Indonesia,
lalu ….
Whoooppss !! tahu-tahu kakiku tergelincir
trotoar yang licin dan sedikit tergenang air, aku hampir saja jatuh kalau saja
nggak ada tangan yang buru-buru meraih lengan tangan kiriku. Tangan milik Flo.
Tubuhku terselamatkan dari mencium trotoar di malam hari, namun muka ini
rasanya memanas, malu … dan entah kenapa jantungku tiba-tiba berdetak lebih
cepat tepat di saat tangan itu merengkuh lengan tanganku .. Ah, pasti hanya kaget
karena mau jatuh, pasti karena itu …
“Are you
okay, Dini ?” masih dengan memegang tangan kiri dan membantuku berdiri
tegak, Flo setengah membungkuk untuk bisa memandang mukaku dengan jelas. Aku?
Jangan ditanya, deh. Bukankah tadi kubilang jantungku berdetak lebih cepat dari
yang sebelumnya? Sekarang tiba-tiba ada yang ikut bergejolak di perutku.
“Ya … Ya … Nggak apa-apa, kok. Ah, hujan deras
begini jalannya jadi banjir, ya,” ujarku mencoba mengalihkan perhatian.
“Well yeah, beberapa hari ini beberapa kota di
Thailand juga sedang terendam banjir, bukan?” Flo kembali berdiri tegak dan
bukannya melebih-lebihkan, tapi tadi aku sempat melihat gerakan matanya tak
beraturan seperti salah tingkah, saat aku balas memandang matanya.
Tangan kiriku bergerak membetulkan peganganku
pada beberapa plastik belanjaan, dan tangannya, masih ada disana .. seolah
hendak memastikan aku nggak akan jatuh lagi.
“Oh here,
let me help you,” tahu-tahu dia melepaskan pegangannya, dan sigap mengambil
alih membawakan barang bawaanku. Aku menurut saja dalam diam, walau sebenarnya
kalau boleh memilih, aku mau tetap membawa barang bawaanku sendiri, tapi
tangannya tetap memegangi lenganku. Hahaa,
you wish, Dini !
Kami melanjutkan perjalanan dalam diam. Obrolan
seru yang tadinya tak ada hentinya, seolah-olah menguap begitu saja. Sebagai
gantinya, suara guyuran air hujan yang berisik mengambil alih dan menemani
perjalanan kami. Kami menyempatkan diri mampir sebentar di Seven Eleven untuk
mengisi perut, dan menanyakan arah jalan. Tak sampai sepuluh menit setelah
melanjutkan perjalanan dari Seven Eleven, kami melihat plang besar bertuliskan
‘Rainbow Hostel & Guesthouse’ …
“Akhirnya sampai juga! Nggak sabar nih mau
segera mandi air hangat!” tukasku bersemangat.
Aku menoleh pada sosok Flo yang tinggi di
sebelah kananku, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya, pandangannya tertuju
pada televisi yang dipasang di sebuah café yang hanya berjarak dua bangunan
dari hostel kami. Ah, siaran bola Liga Inggris rupanya.
“Dini kamu mau langsung balik? Aku mau lihat
bola dulu, nih .. “ Flo menyentuh sekilas pundakku, dan entah kenapa dari pandangan
matanya dia seolah ingin aku menemaninya.
“Well, nonton bola sebentar apa salahnya, yuk!”
Benar saja, aku lihat dia bersemangat karena
aku mau ikut menemani. Aku nggak bisa ingat tim mana yang main, yang
jelas salah satunya adalah Liverpool, klub yang jadi jagoannya kakakku. Aku menikmati setiap mimik muka ekspresifnya
setiap ada pemain yang melakukan manuver ke dekat gawang. Dia bilang dia nggak
jagoin dua-duanya, dia cuma ingin menikmati pertandingan bola nya saja.
Sambil melihat bola, kami melanjutkan obrolan
kami .. Dia memaparkan rencananya untuk langsung bekerja sehari setelah dia
kembali ke Jerman, dia menceritakan tradisi-tradisi Natal saat di Jerman, suhu
minus dan hujan salju yang malah membuat penduduk asyik bermain boneka salju.
Dan Flo menanyakan tentang aku, tentang negaraku, tentang pekerjaanku, tentang
hobi travelingku. Dan yang paling aku senangi darinya, adalah saat ia bertanya,
ia sungguh-sungguh bertanya dan bukan sekadar basa basi. Terlihat dari saat ia
menyimak dengan sungguh saat aku menjawab pertanyaannya. Kalau toh dia
tiba-tiba tertarik dengan pertandingan bola di tv, dia akan memegang pundakku
sejenak, memberi kode untuk berhenti bicara, tapi setelah itu dia akan kembali
memintaku melanjutkan penjelasan. Aku suka gesture
yang ia berikan, suka penghargaan yang ia tunjukkan karena keberadaanku di
dekatnya. Dan begitu saja, tiba-tiba aku merasa nggak rela kalau ia harus
berangkat pagi hari esoknya.
Kami sama-sama masuk dorm, berbaur dengan
penghuni yang lain, lalu beristirahat ketika tengah malam menjelang. Dia
melambai kecil sambil menaiki tangga ranjang susunku. Iya, dia tidur satu bunk bed denganku, tepat di atas
kasurku, dan gotcha! Aku baru ingat
bahwa pemuda inilah yang membuatku tak bisa tidur semalam gara-gara terlalu banyak
tingkah. Sedikit-sedikit membolak balik badannya seperti tak nyaman, hahaa !!
Kebetulan? Kebetulan yang manis, menurutku.. ;)
‘Dear Dini, I’m leaving to Germany this
morning. Please keep contact and reach me to florian@gmail.com
as soon as you reach home. Nice to met you last night, Smile! :) ’
Pesan itu membuatku tersenyum. Sudah kuduga aku
akan kesiangan bangun, nggak sempat mengucapkan salam perpisahan sama Flo, dan
mas-mas India resepsionis hostellah yang akhirnya menyampaikannya untukku..
dinoy
No comments:
Post a Comment