Saturday, April 20, 2013

Gara-Gara Takoyaki!


Tap ... Tap... Tap …
Chika berlari kesetanan sambil kepalanya terus celingukan ke segala arah. Hujan yang mengguyur lebat dari atas langit membuat pikirannya semakin kacau.
“Aduh, ini semua gara-gara takoyaki[1] sialan itu! Aku jadi tertinggal sama mereka. Gimana iniii??”
Chika terisak sendiri mengingat nasibnya yang kini sendirian di salah satu sudut jalanan Tokyo. Hal ini tidak akan terjadi, kalau saja ia tidak tiba-tiba tertarik untuk memesan takoyaki di sebuah kedai, dan asyik memperhatikan cara paman penjual membuat makanan berbentuk bola-bola itu. Chika melirik jam di pergelangan tangannya, sudah jam lima sore. Tanpa sadar, Chika berjongkok dan mulai menangis, takoyakinya digeletakkan begitu saja.
Sumimasen, naze nakimasuka?[2] Seorang pria bertubuh tambun menghampiri Chika, ia berjongkok agar dapat melihat langsung wajah Chika dan menanyainya. Chika menatap wajahnya dan melongo melihat paman itu. Chika sama sekali enggak mengerti dengan maksud perkataannya. Paman itu mengangkat alisnya, menunggu jawaban Chika.
Gomen… nasai…,” dengan terbata Chika mengucapkan bahasa Jepang yang ia tahu, untuk meminta maaf.
Hai[3]?” Paman itu masih menunggu. Chika mengaduk-aduk isi tas selempangnya untuk mengambil sesuatu. Sebuah buku kecil. Chika membolak-balik buku tersebut dengan gugup.
Watashi … Nihongo o … hanasu koto ga dekimasen[4].”
Si Paman mengernyit mendengar ucapan Chika yang patah-patah, lalu sejurus kemudian dia mengangguk-angguk cepat. Dipegangnya bahu Chika dengan lembut, bermaksud membantunya berdiri, lalu gadis itu diajaknya masuk ke dalam tokonya.
“Kazuki!! Doko ni iru[5]?!” Seorang remaja muncul dari arah dalam dengan tergopoh, mengenakan kaus abu-abu dan celana pendek warna khaki. Mukanya tampak belepotan saus di sekitar mulut, yang segera diusapnya dengan punggung tangannya. Mau tak mau Chika menahan tawa melihat cowok berambut setengah gondrong ala harajuku[6] yang dipanggil Kazuki itu.
E, kanojo wa daredesuka, Otousan[7]?” Chika segera menutup mulutnya begitu sadar cowok itu sedang menunjuk ke arahnya dengan wajah tidak suka. Paman gendut tadi menghampiri Kazuki dan membisikinya sesuatu. Kazuki segera paham situasinya dan melangkah mendekati Chika dengan ogah-ogahan.
Hei, my father saw you crying in front of our store, any problem?
Chika segera menghela napas lega sampai kedua bahunya turun, karena akhirnya ada juga yang bisa berbahasa Inggris dan bisa diajaknya berkomunikasi.
“Aku tadi sedang memesan takoyaki, tahu-tahu aku terpisah dari rombongan tur. Sekarang aku enggak tahu gimana caranya bisa bertemu kembali dengan mereka.”
Kazuki menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, ayahnya di belakang mencolek-coleknya, ingin tahu maksud penjelasan Chika tadi. Cowok itu menoleh dan menjelaskan kepada ayahnya dalam bahasa mereka.
Kazu-kun[8], kono kanojo wo tasukete kudasai![9]” perintah ayah Kazuki. Chotto![10]
“Kazuki!!”
Ayahnya mendelik, membuat remaja itu cemberut sebal dan akhirnya kembali berbalik kepada Chika.
“Apakah kamu punya petunjuk tentang keberadaan rombongan turmu?”
“Nggg… aku hanya tahu alamat hotelnya, ada di kawasan Oyama.“
“Hah, di sana? Jauh sekaliii… gimana kalau aku memberimu petunjuk naik kereta, ah, atau taxi! Kamu bawa uang, kan?”
Chika memberengut dan tampak berpikir. Chika melirik paman tadi yang sudah asyik berada di balik etalase toko yang menjual peralatan elektronik ini. Sepertinya, paman tadi telah menugaskan anaknya ini untuk membantunya, kan?
“Kayaknya ayahmu bakalan marah kalau kamu enggak mau bantu aku,” tukas Chika sambil telunjuknya diarahkan ke paman gendut itu. Kazuki mendelik.
“Hei, kamu mengancamku?? Ah, baiklaaah! Tunggu, duduklah di situ dulu, aku akan berganti pakaian dulu.”
Kazuki menunjuk ke sebuah kursi di belakang Chika, sebelum akhirnya ia menghilang dari balik pintu, menuju bagian dalam toko.
*
Setengah jam kemudian setelah hujan reda, Chika dan Kazuki sudah berada di atas motor, meluncur di kawasan Akihabara[11]. Angin musim semi yang menerpa membuat Chika merapatkan jaketnya. Dia sempat heran melihat di sekitarnya, cewek-cewek Jepang seakan tak terganggu dengan suhu udara belasan derajat ini, mereka tetap tampil modis dengan kaus tanpa lengan dan juga rok mini. Kazuki yang ada di depannya tampak lurus memerhatikan jalanan. Lama-lama Chika bosan diam-diaman dengan cowok yang baru dikenalnya satu jam lalu. Iseng, Chika pun menyenandungkan sebuah lagu Jepang, satu-satunya yang ia tahu.
Konna koto ii na, dekitara ii na …
Anna yume konna yume ippai aru kedo …
Minna minna minna, kanaete kureru …
Fushigina pokke de kanaete kureru …
Sora wo jiyuu ni tobitai na …
Hai! Ttakekoputaa!
[Lirik lagu Doraemon versi Jepang.]
Dari kaca spion, Chika dapat melihat Kazuki meliriknya sambil sedikit melengkungkan bibirnya ke atas. Senyum. Iya, akhirnya Chika melihat cowok itu tersenyum setelah daritadi kelihatan enggak rela mengantar Chika! Tiba-tiba, laju motor melambat, dan Kazuki memberhentikannya di dekat sebuah taman.
“Lho kok berhenti?” protes Chika.
“Kita istirahat dulu ya, hotel tempatmu menginap itu jauh sekali, tau!!”
“Ya udah sih, enggak usah pake marah!”
Chika melepas helm dan menyerahkannya kepada Kazuki, cowok itu meletakkannya di atas spion motor. Kazuki memimpin Chika berjalan memasuki taman, dan duduk di sebuah bangku. Kazuki memerhatikan sekeliling sambil bersiul-siul, sementara Chika masih berdiri di hadapannya.
“Kamu enggak capek berdiri terus?” tanya Kazuki sambil mendongak.
“Kamu… beneran tahu arah ke hotelnya kan?” Chika mendadak curiga.
“Iyaaa… tenang aja sih, aku akan antar kamu ke sana dan ketemu sama orangtuamu. Istirahat sebentar aja dulu….”
Chika merengut menatap Kazuki, “aku cuma enggak mau bikin orangtuaku cemas.”
“Ya kalau gitu telepon mereka, dong!” Kazuki mengajukan sebuah usul yang rasanya anak kecil juga bakalan tahu!
“Kalau bisa ya udah kulakuin dari tadi, kali! Handphoneku ada sama mereka!” pekik Chika.
Baka![12]
“Apa kamu bilang?”
“Hah, sudahlah!” Kazuki melambaikan tangan, lalu mengambil handphonenya sendiri dari saku celana. Dia memencet beberapa nomor.
*
Chika mematikan sambungan telepon dan menatap alat itu dengan tatapan kosong. Tadi Kazuki berhasil menghubungkannya dengan pihak hotel, yang untungnya juga bisa menyambungkannya langsung dengan orangtuanya. Chika meminta agar orang tuanya tidak khawatir memikirkannya, karena dia telah bertemu orang Jepang yang berbaik hati akan mengantarkannya ke hotel itu. Papa dan mamanya berseru lega mendengar suara putrinya, dan berjanji tidak akan ke mana-mana sampai Chika kembali ke hotel.

“Nih, makan!” Kazuki yang tadi menghilang telah kembali di hadapannya dan menyodorinya sebuah wadah berisi makanan.
“Ah, takoyaki! Aku enggak mau makan itu lagi!! Gara-gara si bola gurita ini aku jadi terpisah dari rombongan tur!”
“Enak aja nyalahin takoyaki! Ini makanan enak tau, ini makanan favoritku! Sudah ayo makan, kamu pikir aku enggak denger waktu perutmu bergemuruh lapar di atas motor tadi??”
Seketika wajah Chika memerah. Memang benar, Chika tadi kelaparan gara-gara panik mencari orangtuanya, jadi mengabaikan kalau perutnya belum terisi sedari siang. Bahkan takoyaki yang tadi dibelinya sebelum terpisah dari rombongan, diabaikan begitu saja. Akhirnya Chika menerima takoyaki hangat itu dari tangan Kazuki.
“Kamu dari mana sih?” tanya Kazuki di sela kunyahan takoyakinya.
“Indonesia.”
Kazuki melotot dan tersedak mendengar jawaban Chika.
“Hei, kenapa?” Chika segera menyodorkan botol air mineral yang diambil dari tasnya kepada Kazuki.
“Minum dulu, pelan-pelan…”
“Kamu… sungguhan dari Indonesia? Jakarrta[13]?”
“Iya, kok tau? Pernah ke Jakarta?” Chika jadi penasaran gara-gara Kazuki menyebut kota asalnya.
“Hah,” Kazuki mendengus, “apes banget aku! Lagi-lagi ketemu cewek Indonesia, cewek Jakarta. Mereka biasanya hanya bisa merepotkan!!”
“Apa maksudmu?!” Chika spontan memukul pundak Kazuki, cowok itu memerhatikan tangan Chika, membuat Chika jadi kikuk sendiri dan segera menarik tangannya.
“Aku dulu pernah punya tetangga cewek Indonesia. Dia gadis yang polos dan menarik, dan selalu memintaku tolong ini-itu. Kami sempat pacaran, cuma tiga bulan! Sampai akhirnya dia kembali ke negara asalnya, dan enggak pernah bisa kuhubungi lagi. Email, telepon, semua diabaikan. Jadi seperti itu ya cewek Indonesia, suka lupa sama orang yang pernah disukainya.”
Kazuki tampak ringan menceritakan semuanya, sementara Chika yang mendengarnya dibuat tercengang. Chika hendak merasa iba, tetapi batal ketika melihat muka Kazuki tampak tidak terbeban sama sekali dan malah kelihatan tengil.
“Hei, kamu enggak bisa nyimpulin gitu aja dong! Gimana kalau aku bilang semua cowok Jepang itu menyebalkan seperti kamu, dan enggak ikhlas menolong?”
“Enak aja!”
“Makanyaa... jangan ngatain semua cewek Indonesia kayak gitu, dong! Mungkin aja cewek itu lagi enggak sempat menghubungi kamu balik.”
Kazuki terdiam.
“Lagian aku percaya sih enggak semua cowok Jepang menyebalkan, buktinya ayahmu baik, sayang aja sifat baiknya enggak nurun ke anak cowoknya ini. Ganteng-ganteng tapi nyebelin…”
“Apa katamu?!”
Chika buru-buru menutup mulutnya, sadar kalau dia sudah keceplosan.
Did you say that I am handsome?”
“Lupakan!”
“Hahahaha!!!”
Kazuki tertawa puas sudah membuat Chika malu, gadis itu sekarang bangkit berdiri.
“Aku… mau beli minum dulu, habis…” Chika menunjuk botol minumnya yang telah kosong, Kazuki menganggukkan kepala sambil masih tergelak.
*
“Chika!”
Kazuki datang tepat waktu ketika Chika hampir saja tertabrak mobil yang lewat. Kazuki menarik tangan Chika dan menahan punggungnya yang hampir jatuh. Posisi mereka kini berdekatan dengan mata yang saling memandang. Saat menatap mata Chika, tiba-tiba Kazuki ingat akan sesuatu. Bola mata yang bulat besar dan berwarna cokelat ini, bulu mata yang lentik, dan alisnya yang melengkung apik…. mengingatkan Kazuki akan seorang gadis manis yang dikenalnya dua tahun lalu, saat ia masih duduk di bangku SMP. Kazuki tersadar, kalau Chika memiliki sedikit kemiripan dengan Hana, gadis Indonesia yang sempat dipacarinya sebentar.
Gomen nasai… kalian tidak apa-apa?” seorang sopir taxi tergopoh-gopoh menghampiri dan menyadarkan mereka. Kazuki buru-buru membantu Chika berdiri.
I’m okay, I’m sorry, I didn’t cross the street carefully,” ucap Chika sopan kepada si sopir taxi. Bapak tua itu mengernyit bingung, Kazuki segera menjelaskan. Sesudahnya, pak sopir segera pamit setelah sekali lagi berucap maaf dan membungkukkan badan. Kazuki mengajak Chika berlalu dari situ, namun kali ini dia memegang erat jemari tangan Chika, seolah hendak memastikan Chika akan baik-baik saja berjalan bersamanya.
“Ma… maaf, aku tadi enggak memerhatikan kalau lampu lalu lintasnya sudah menyala hijau,” ucap Chika terbata. Entah kenapa sekarang jantungnya jadi deg-degan sendiri dengan posisi Kazuki memegang tangannya seperti ini. Pipinya terasa panas, dan sesuatu yang menggelitik terasa dari dalam perutnya.
“Lain kali hati-hati ya, tadi aku menyusulmu karena kamu lama enggak kembali.”
Kazuki menyodorkan helm kepada Chika, dan mengajaknya bergegas menuju hotel tempatnya menginap. Lagi, sepanjang perjalanan mereka membisu, sementara hari beranjak malam. Dari kaca spion, Kazuki melihat gadis itu mendekap tubuhnya sendiri, kedinginan, ia pun berinisiatif menepi sebentar.
“Kenapa?” tanya Chika bingung.
Kazuki tak menjawab, melainkan meraih kedua tangan Chika dan diletakkan di atas pinggangnya.
“Eh?” kata Chika heran.
“Begini lebih baik, peluk aku, karena udara malam di musim semi lumayan dingin,” jawab Kazuki dengan senyum termanis sejak pertemuan dua jam lalu. Chika menunduk, berharap dapat menyembunyikan mukanya yang tersipu.
Hingga sejam lebih perjalanan yang ditempuh dengan Chika memeluk punggung Kazuki, melewati jalan raya Tokyo yang gemerlap dengan lampu-lampu bangunan dan klip yang terputar dari televisi raksasa, yang tiba-tiba membuat Chika merasa tak rela ketika kini mereka telah sampai di depan sebuah hotel.
Tadi, ketika dada Chika menempel pada punggung cowok berkulit putih itu, Chika seolah sedang menyatukan jantungnya menembus tulang belakang Kazuki, menuju jantung cowok itu sendiri, dan menyamakan degup jantung mereka berdua dengan sebentuk perasaan …. suka? Chika tak tahu, yang jelas dia semakin tak rela berpisah, terlebih ketika kini dia sudah berhadapan dengan wajah Kazuki.
Arigatou gozaimasu[14]...” ucap Chika tulus sambil membungkuk.
Douitashimashite![15]” seru Kazuki. Chika hendak berbalik dan masuk ke lobi hotel, ketika tangan cowok itu menahannya.
Zip! Dan seketika itu juga Chika merasakan getaran aneh ketika tangan itu menyentuhnya lagi. Kazuki mengambil sebuah kertas dari dalam dompet, menulisi sesuatu di atasnya, dan menyerahkannya kepada Chika.
“Aku percaya kata-katamu, enggak semua cewek Indonesia gampang lupa, jadi tolong hubungi aku lagi ya.” 
Chika tersenyum dan mengangguk, setelah melihat alamat email Kazuki di atas kertas itu.
Arigatou takoyaki, gara-gara kamu, aku jadi ketemu cowok Jepang yang manis
Chika mendekap kertas itu dengan perasaan gembira dan berlari masuk ke dalam lobi hotel.
 終わり[16]



[1] Takoyaki = makanan Jepang berbentuk bola-bola kecil yang dibuat dari adonan tepung terigu dan diisi potongan gurita rebus di dalamnya.
[2] Sumimasen, naze nakimasuka? = Permisi (karena belum kenal), kenapa kamu menangis?
[3] Hai? = Ya?
[4] Watashi … Nihongo o hanasu koto  ga dekimasen = Saya.. tidak bisa berbahasa Jepang.
[5] Doko ni iru? = Lagi di mana?
[6] Harajuku = nama salah satu kawasan populer di Tokyo tempat berkumpulnya anak muda, yang juga berkembang menjadi nama salah satu gaya berpakaian dan berdandan yang populer.
[7] E, kanojo wa daredesuka, Otousan? = Eh, siapa dia, Ayah?
[8] Kun = sebutan untuk cowok, sapaan akrab untuk anak-anak atau teman sebaya.
[9] Kono kanojo wo tasukete kudasai! = tolong bantu perempuan ini!
[10] Chotto! = Enggak mau!

[11] Akihabara = Kawasan pusat perbelanjaan elektronik di Tokyo.
[12] Baka! = bodoh!
[13] Biasanya orang Jepang akan memberi penekanan saat menyebut huruf ‘r’.
[14] Arigatou = Terima kasih.
[15] Douitashimashite = Terima kasih kembali.
[16] Owari = Tamat.

Cerpen yang iseng-iseng dikirim buat lomba, tapi sayang enggak terpilih, hihi. ^^

1 comment:

Clara Canceriana said...

kazuki..., orang yang aku ingat justru anak bosku yang yankee xDD

ini udah di revisi ya?