Tap ... Tap... Tap …
Chika berlari kesetanan sambil kepalanya terus celingukan ke
segala arah. Hujan yang mengguyur lebat dari atas langit membuat pikirannya
semakin kacau.
“Aduh, ini semua gara-gara takoyaki[1]
sialan itu! Aku jadi tertinggal sama mereka. Gimana iniii??”
Chika terisak sendiri mengingat nasibnya yang kini sendirian
di salah satu sudut jalanan Tokyo. Hal ini tidak akan terjadi, kalau saja ia
tidak tiba-tiba tertarik untuk memesan takoyaki
di sebuah kedai, dan asyik memperhatikan cara paman penjual membuat makanan
berbentuk bola-bola itu. Chika melirik jam di pergelangan tangannya, sudah jam
lima sore. Tanpa sadar, Chika berjongkok dan mulai menangis, takoyakinya digeletakkan begitu saja.
“Sumimasen,
naze nakimasuka?[2]” Seorang pria bertubuh tambun
menghampiri Chika, ia berjongkok agar dapat melihat langsung wajah Chika
dan menanyainya. Chika menatap wajahnya dan melongo melihat paman itu. Chika
sama sekali enggak mengerti dengan maksud perkataannya. Paman itu mengangkat
alisnya, menunggu jawaban Chika.
“Gomen… nasai…,”
dengan terbata Chika mengucapkan bahasa Jepang yang ia tahu, untuk meminta
maaf.
“Hai[3]?”
Paman itu masih menunggu. Chika mengaduk-aduk isi tas selempangnya untuk
mengambil sesuatu. Sebuah buku kecil. Chika membolak-balik buku tersebut dengan
gugup.
“Watashi … Nihongo o …
hanasu koto ga dekimasen[4].”
Si Paman mengernyit mendengar ucapan Chika yang patah-patah,
lalu sejurus kemudian dia mengangguk-angguk cepat. Dipegangnya bahu Chika dengan
lembut, bermaksud membantunya berdiri, lalu gadis itu diajaknya masuk ke dalam
tokonya.
“Kazuki!! Doko ni iru[5]?!” Seorang
remaja muncul dari arah dalam dengan tergopoh, mengenakan kaus abu-abu dan
celana pendek warna khaki. Mukanya tampak belepotan saus di sekitar mulut, yang
segera diusapnya dengan punggung tangannya. Mau tak mau Chika menahan tawa
melihat cowok berambut setengah gondrong ala harajuku[6]
yang dipanggil Kazuki itu.
“E, kanojo wa
daredesuka, Otousan[7]?” Chika
segera menutup mulutnya begitu sadar cowok itu sedang menunjuk ke arahnya
dengan wajah tidak suka. Paman gendut tadi menghampiri Kazuki dan membisikinya
sesuatu. Kazuki segera paham situasinya dan melangkah mendekati Chika dengan
ogah-ogahan.
“Hei, my father saw you
crying in front of our store, any problem?”
Chika segera menghela napas lega sampai kedua bahunya turun,
karena akhirnya ada juga yang bisa berbahasa Inggris dan bisa diajaknya
berkomunikasi.
“Aku tadi sedang memesan takoyaki,
tahu-tahu aku terpisah dari rombongan tur. Sekarang aku enggak tahu gimana
caranya bisa bertemu kembali dengan mereka.”
Kazuki menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, ayahnya di
belakang mencolek-coleknya, ingin tahu maksud penjelasan Chika tadi. Cowok itu
menoleh dan menjelaskan kepada ayahnya dalam bahasa mereka.
“Kazuki!!”
Ayahnya mendelik, membuat remaja itu cemberut sebal dan
akhirnya kembali berbalik kepada Chika.
“Apakah kamu punya petunjuk tentang keberadaan rombongan
turmu?”
“Nggg… aku hanya tahu alamat hotelnya, ada di kawasan Oyama.“
“Hah, di sana? Jauh sekaliii… gimana kalau aku memberimu
petunjuk naik kereta, ah, atau taxi! Kamu bawa uang, kan?”
Chika memberengut dan tampak berpikir. Chika melirik paman
tadi yang sudah asyik berada di balik etalase toko yang menjual peralatan
elektronik ini. Sepertinya, paman tadi telah menugaskan anaknya ini untuk
membantunya, kan?
“Kayaknya ayahmu bakalan marah kalau kamu enggak mau bantu
aku,” tukas Chika sambil telunjuknya diarahkan ke paman gendut itu. Kazuki
mendelik.
“Hei, kamu mengancamku?? Ah, baiklaaah! Tunggu, duduklah di
situ dulu, aku akan berganti pakaian dulu.”
Kazuki menunjuk ke sebuah kursi di belakang Chika, sebelum
akhirnya ia menghilang dari balik pintu, menuju bagian dalam toko.
*
Setengah jam kemudian setelah hujan reda, Chika dan Kazuki
sudah berada di atas motor, meluncur di kawasan Akihabara[11].
Angin musim semi yang menerpa membuat Chika merapatkan jaketnya. Dia sempat
heran melihat di sekitarnya, cewek-cewek Jepang seakan tak terganggu dengan
suhu udara belasan derajat ini, mereka tetap tampil modis dengan kaus tanpa
lengan dan juga rok mini. Kazuki yang ada di depannya tampak lurus memerhatikan
jalanan. Lama-lama Chika bosan diam-diaman dengan cowok yang baru dikenalnya
satu jam lalu. Iseng, Chika pun menyenandungkan sebuah lagu Jepang,
satu-satunya yang ia tahu.
Konna koto
ii na, dekitara ii na …
Anna yume konna yume ippai aru kedo …
Minna minna minna, kanaete kureru …
Fushigina pokke de kanaete kureru …
Sora wo jiyuu ni tobitai na …
Anna yume konna yume ippai aru kedo …
Minna minna minna, kanaete kureru …
Fushigina pokke de kanaete kureru …
Sora wo jiyuu ni tobitai na …
Hai!
Ttakekoputaa!
[Lirik lagu Doraemon versi Jepang.]
Dari kaca spion, Chika dapat melihat Kazuki meliriknya sambil
sedikit melengkungkan bibirnya ke atas. Senyum. Iya, akhirnya Chika melihat
cowok itu tersenyum setelah daritadi kelihatan enggak rela mengantar Chika!
Tiba-tiba, laju motor melambat, dan Kazuki memberhentikannya di dekat sebuah
taman.
“Lho kok berhenti?” protes Chika.
“Kita istirahat dulu ya, hotel tempatmu menginap itu jauh
sekali, tau!!”
“Ya udah sih, enggak usah pake marah!”
Chika melepas helm dan menyerahkannya kepada Kazuki, cowok
itu meletakkannya di atas spion motor. Kazuki memimpin Chika berjalan memasuki
taman, dan duduk di sebuah bangku. Kazuki memerhatikan sekeliling sambil
bersiul-siul, sementara Chika masih berdiri di hadapannya.
“Kamu enggak capek berdiri terus?” tanya Kazuki sambil
mendongak.
“Kamu… beneran tahu arah ke hotelnya kan?” Chika mendadak
curiga.
“Iyaaa… tenang aja sih, aku akan antar kamu ke sana dan
ketemu sama orangtuamu. Istirahat sebentar aja dulu….”
Chika merengut menatap Kazuki, “aku cuma enggak mau bikin
orangtuaku cemas.”
“Ya kalau gitu telepon mereka, dong!” Kazuki mengajukan
sebuah usul yang rasanya anak kecil juga bakalan tahu!
“Kalau bisa ya udah kulakuin dari tadi, kali! Handphoneku ada sama mereka!” pekik
Chika.
“Baka![12]”
“Apa kamu bilang?”
“Hah, sudahlah!” Kazuki melambaikan tangan, lalu mengambil handphonenya sendiri dari saku celana.
Dia memencet beberapa nomor.
*
Chika mematikan sambungan telepon dan menatap alat itu dengan
tatapan kosong. Tadi Kazuki berhasil menghubungkannya dengan pihak hotel, yang
untungnya juga bisa menyambungkannya langsung dengan orangtuanya. Chika meminta
agar orang tuanya tidak khawatir memikirkannya, karena dia telah bertemu orang
Jepang yang berbaik hati akan mengantarkannya ke hotel itu. Papa dan mamanya
berseru lega mendengar suara putrinya, dan berjanji tidak akan ke mana-mana
sampai Chika kembali ke hotel.
“Nih, makan!” Kazuki yang tadi menghilang telah kembali di
hadapannya dan menyodorinya sebuah wadah berisi makanan.
“Ah, takoyaki! Aku
enggak mau makan itu lagi!! Gara-gara si bola gurita ini aku jadi terpisah dari
rombongan tur!”
“Enak aja nyalahin takoyaki!
Ini makanan enak tau, ini makanan favoritku! Sudah ayo makan, kamu pikir aku
enggak denger waktu perutmu bergemuruh lapar di atas motor tadi??”
Seketika wajah Chika memerah. Memang benar, Chika tadi
kelaparan gara-gara panik mencari orangtuanya, jadi mengabaikan kalau perutnya
belum terisi sedari siang. Bahkan takoyaki
yang tadi dibelinya sebelum terpisah dari rombongan, diabaikan begitu saja.
Akhirnya Chika menerima takoyaki
hangat itu dari tangan Kazuki.
“Kamu dari mana sih?” tanya Kazuki di sela kunyahan takoyakinya.
“Indonesia.”
Kazuki melotot dan tersedak mendengar jawaban Chika.
“Hei, kenapa?” Chika segera menyodorkan botol air mineral
yang diambil dari tasnya kepada Kazuki.
“Minum dulu, pelan-pelan…”
“Kamu… sungguhan dari Indonesia? Jakarrta[13]?”
“Iya, kok tau? Pernah ke Jakarta?” Chika jadi penasaran
gara-gara Kazuki menyebut kota asalnya.
“Hah,” Kazuki mendengus, “apes banget aku! Lagi-lagi ketemu
cewek Indonesia, cewek Jakarta. Mereka biasanya hanya bisa merepotkan!!”
“Apa maksudmu?!” Chika spontan memukul pundak Kazuki, cowok
itu memerhatikan tangan Chika, membuat Chika jadi kikuk sendiri dan segera
menarik tangannya.
“Aku dulu pernah punya tetangga cewek Indonesia. Dia gadis
yang polos dan menarik, dan selalu memintaku tolong ini-itu. Kami sempat
pacaran, cuma tiga bulan! Sampai akhirnya dia kembali ke negara asalnya, dan
enggak pernah bisa kuhubungi lagi. Email, telepon, semua diabaikan. Jadi
seperti itu ya cewek Indonesia, suka lupa sama orang yang pernah disukainya.”
Kazuki tampak ringan menceritakan semuanya, sementara Chika
yang mendengarnya dibuat tercengang. Chika hendak merasa iba, tetapi batal
ketika melihat muka Kazuki tampak tidak terbeban sama sekali dan malah
kelihatan tengil.
“Hei, kamu enggak bisa nyimpulin gitu aja dong! Gimana kalau
aku bilang semua cowok Jepang itu menyebalkan seperti kamu, dan enggak ikhlas
menolong?”
“Enak aja!”
“Makanyaa... jangan ngatain semua cewek Indonesia kayak gitu,
dong! Mungkin aja cewek itu lagi enggak sempat menghubungi kamu balik.”
Kazuki terdiam.
“Lagian aku percaya sih enggak semua cowok Jepang
menyebalkan, buktinya ayahmu baik, sayang aja sifat baiknya enggak nurun ke
anak cowoknya ini. Ganteng-ganteng tapi nyebelin…”
“Apa katamu?!”
Chika buru-buru menutup mulutnya, sadar kalau dia sudah
keceplosan.
“Did you say that I am
handsome?”
“Lupakan!”
“Hahahaha!!!”
Kazuki tertawa puas sudah membuat Chika malu, gadis itu
sekarang bangkit berdiri.
“Aku… mau beli minum dulu, habis…” Chika menunjuk botol
minumnya yang telah kosong, Kazuki menganggukkan kepala sambil masih tergelak.
*
“Chika!”
Kazuki datang tepat waktu ketika Chika hampir saja tertabrak
mobil yang lewat. Kazuki menarik tangan Chika dan menahan punggungnya yang
hampir jatuh. Posisi mereka kini berdekatan dengan mata yang saling memandang.
Saat menatap mata Chika, tiba-tiba Kazuki ingat akan sesuatu. Bola mata yang
bulat besar dan berwarna cokelat ini, bulu mata yang lentik, dan alisnya yang
melengkung apik…. mengingatkan Kazuki akan seorang gadis manis yang dikenalnya
dua tahun lalu, saat ia masih duduk di bangku SMP. Kazuki tersadar, kalau Chika
memiliki sedikit kemiripan dengan Hana, gadis Indonesia yang sempat dipacarinya
sebentar.
“Gomen nasai… kalian
tidak apa-apa?” seorang sopir taxi tergopoh-gopoh menghampiri dan menyadarkan
mereka. Kazuki buru-buru membantu Chika berdiri.
“I’m okay, I’m sorry, I
didn’t cross the street carefully,” ucap Chika sopan kepada si sopir taxi.
Bapak tua itu mengernyit bingung, Kazuki segera menjelaskan. Sesudahnya, pak
sopir segera pamit setelah sekali lagi berucap maaf dan membungkukkan badan.
Kazuki mengajak Chika berlalu dari situ, namun kali ini dia memegang erat
jemari tangan Chika, seolah hendak memastikan Chika akan baik-baik saja
berjalan bersamanya.
“Ma… maaf, aku tadi enggak memerhatikan kalau lampu lalu
lintasnya sudah menyala hijau,” ucap Chika terbata. Entah kenapa sekarang
jantungnya jadi deg-degan sendiri dengan posisi Kazuki memegang tangannya
seperti ini. Pipinya terasa panas, dan sesuatu yang menggelitik terasa dari
dalam perutnya.
“Lain kali hati-hati ya, tadi aku menyusulmu karena kamu lama
enggak kembali.”
Kazuki menyodorkan helm kepada Chika, dan mengajaknya
bergegas menuju hotel tempatnya menginap. Lagi, sepanjang perjalanan mereka
membisu, sementara hari beranjak malam. Dari kaca spion, Kazuki melihat gadis
itu mendekap tubuhnya sendiri, kedinginan, ia pun berinisiatif menepi sebentar.
“Kenapa?” tanya Chika bingung.
Kazuki tak menjawab, melainkan meraih kedua tangan Chika dan
diletakkan di atas pinggangnya.
“Eh?” kata Chika heran.
“Begini lebih baik, peluk aku, karena udara malam di
musim semi lumayan dingin,” jawab Kazuki dengan senyum termanis sejak pertemuan
dua jam lalu. Chika menunduk, berharap dapat menyembunyikan mukanya yang
tersipu.
Hingga sejam lebih perjalanan yang ditempuh dengan
Chika memeluk punggung Kazuki, melewati jalan raya Tokyo yang gemerlap dengan
lampu-lampu bangunan dan klip yang terputar dari televisi raksasa, yang
tiba-tiba membuat Chika merasa tak rela ketika kini mereka telah sampai di
depan sebuah hotel.
Tadi, ketika dada Chika menempel pada punggung cowok
berkulit putih itu, Chika seolah sedang menyatukan jantungnya menembus tulang
belakang Kazuki, menuju jantung cowok itu sendiri, dan menyamakan degup jantung
mereka berdua dengan sebentuk perasaan …. suka? Chika tak tahu, yang jelas dia
semakin tak rela berpisah, terlebih ketika kini dia sudah berhadapan dengan
wajah Kazuki.
“Arigatou gozaimasu[14]...” ucap
Chika tulus sambil membungkuk.
“Douitashimashite![15]” seru
Kazuki. Chika hendak berbalik dan masuk ke lobi hotel, ketika tangan cowok itu
menahannya.
Zip! Dan
seketika itu juga Chika merasakan getaran aneh ketika tangan itu menyentuhnya
lagi. Kazuki mengambil sebuah kertas dari dalam dompet, menulisi sesuatu di
atasnya, dan menyerahkannya kepada Chika.
“Aku percaya kata-katamu, enggak semua cewek Indonesia
gampang lupa, jadi tolong hubungi aku lagi ya.”
Chika tersenyum dan mengangguk, setelah melihat alamat email Kazuki di atas kertas itu.
Chika tersenyum dan mengangguk, setelah melihat alamat email Kazuki di atas kertas itu.
Arigatou takoyaki, gara-gara kamu, aku jadi ketemu cowok
Jepang yang manis.
Chika mendekap kertas itu dengan perasaan gembira dan berlari masuk ke dalam lobi hotel.
Chika mendekap kertas itu dengan perasaan gembira dan berlari masuk ke dalam lobi hotel.
終わり[16]
[1] Takoyaki = makanan Jepang
berbentuk bola-bola kecil yang dibuat dari adonan tepung terigu dan diisi
potongan gurita rebus di dalamnya.
[2]
Sumimasen,
naze nakimasuka? = Permisi (karena belum
kenal), kenapa kamu menangis?
[3] Hai? = Ya?
[4] Watashi … Nihongo o hanasu
koto ga dekimasen = Saya.. tidak bisa
berbahasa Jepang.
[5] Doko ni iru? = Lagi di
mana?
[6] Harajuku = nama salah satu
kawasan populer di Tokyo tempat berkumpulnya anak muda, yang juga berkembang
menjadi nama salah satu gaya berpakaian dan berdandan yang populer.
[7] E, kanojo
wa daredesuka, Otousan? = Eh,
siapa dia, Ayah?
[8]
Kun = sebutan untuk cowok,
sapaan akrab untuk anak-anak atau teman sebaya.
[9] Kono kanojo wo tasukete kudasai! = tolong bantu perempuan ini!
[10] Chotto! = Enggak mau!
[11] Akihabara
= Kawasan pusat perbelanjaan elektronik di Tokyo.
[12] Baka! =
bodoh!
[13] Biasanya
orang Jepang akan memberi penekanan saat menyebut huruf ‘r’.
[14] Arigatou = Terima kasih.
[15]
Douitashimashite = Terima kasih kembali.
[16] Owari = Tamat.
Cerpen yang iseng-iseng dikirim buat lomba, tapi sayang enggak terpilih, hihi. ^^
1 comment:
kazuki..., orang yang aku ingat justru anak bosku yang yankee xDD
ini udah di revisi ya?
Post a Comment