Sunday, September 2, 2012

Kenangan Kereta



………..
…..
..

Saya memegang dada secara spontan. Turun dari boncengan motor ojek, mata saya disambut pemandangan padatnya antrian manusia di Stasiun Kereta Api Pasar Senen. Melirik jam di pergelangan tangan kiri, saya lega saya tidak terlambat, bahkan tepat saju jam sebelum jadwal keberangkatan kereta api Gumarang, yang akan membawa saya ke Surabaya malam ini. Tangan kanan saya beralih mengusap peluh di dahi, yang dihasilkan dari berpanas ria di jalanan Jakarta yang hari ini macet luar biasa. Mendekati puncak arus mudik lebaran, begitu berita yang saya baca di portal berita yang memperkirakan hari ini jalanan Jakarta akan lebih macet lagi dari biasanya. Dan memang perkiraan itu benar. Sepanjang Fatmawati – Mampang -  Kuningan – Cikini yang dilalui sekitar satu jam, indera penglihatan saya disuguhkan semerawutnya kendaraan bermotor yang memadati sepanjang jalan itu. Untungnya, bapak Ojek dengan keahliannya mengemudi motor mampu melihat celah-celah jalanan hingga mengantar saya stampai di stasiun ini dan jauh dari kata terlambat.

Setelah bertanya ke dua orang petugas yang berbeda, akhirnya saya memasuki ruang tunggu bagian dalam stasiun. Sistem peron stasiun saat ini sudah menyerupai mekanisme boarding di bandar udara. Tidak boleh masuk begitu saja ke ruang tunggu bagian dalam sebelum dipanggil sesuai nama keretanya, dan tiketpun diperiksa disesuaikan dengan kartu identitas. Sebenarnya ini merupakan suatu kemajuan, meski akhirnya perlu waktu yang lebih lama dan tampak kurang praktis.

 


Saya duduk di salah satu kursi dan meletakkan tas punggung lima puluh liter saya di dekat kaki. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan tampaklah ruang tunggu sudah dipenuhi oleh manusia-manusia megapolitan yang hendak menjumpai lagi kota-kota di mana mereka berasal sesungguhnya. Wajah-wajah menunggu yang terlihat rindu, senyum ramah terpancar dari ibu di sebelah, yang saya ketahui berasal dari Bekasi.

“Lho kenapa nggak ke stasiun Bekasi saja, bu, kan kereta Gumarang lewat sana juga?” tanya saya sopan.

“Kalau di Bekasi, keretanya cuma berhenti sebentar mbak, nggak bisa diprediksi juga waktu persis kedatangannya. Daripada ambil risiko, mending datang ke sini saja langsung. Lebih baik menunggu daripada terlambat,” jawabannya saya sambut senyum sambil menganggukkan kepala tanda setuju.

Detik selanjutnya saya lalu sibuk dengan kamera saku di genggaman tangan kanan. Barang yang akhirnya saya beli satu minggu lalu, demi keinginan saya untuk mengabadikan momen di sekitar saya dan mencoba menjadikannya ide untuk dituliskan dalam rangkaian kalimat.

Lebih baik menunggu daripada terlambat.

Kalimat ini sungguh sangat tidak asing. Papa sering mengucapkannya untuk mengingatkan saya setiap hendak bepergian ke tempat jauh. Seperti tadi sore, papa menelepon untuk memastikan saya sudah berangkat menuju stasiun. Sayangnya saya tidak tahu kalau beliau berusaha menghubungi, karena telepon genggam ada di tas dan saya sedang berjibaku dengan kemacetan di Jakarta. Saya balas meneleponnya sesaat saya sampai di stasiun. Beliau mengatakan akan menjemput saya esok pagi, lalu mengakhiri pembicaraan setelah menyampaikan doa selamat di perjalanan.


Kereta itu datang

Saya membopong tas punggung dan mendekatkan tas tangan pada bahu kanan. Ketika rangkaian gerbong kereta benar-benar berhenti, saya menaikinya dan segera mencari nomer kursi saya. Perjalanan tiga belas jam saya menuju kota kelahiran akan segera dimulai. Perjalanan menuju rumah. Perjalanan menjemput rindu. Tersenyum singkat pada pemuda di sebelah, lalu kami sibuk dengan aktivitas masing-masing tanpa perlu mengobrol. Dia dan telepon genggamnya, saya dengan buku yang saya pilih sebagai peneman. Kereta berjalan, kenangan berputar. Saya tergelak. Sudah sekitar satu tahun lebih sejak saya menggunakan jasa kereta api untuk jarak jauh. Terakhir, saat acara pernikahan kakak saya Juni tahun lalu, di Madiun. Dulu saya rutin menggunakan Gumarang untuk pulang, namun semenjak tiket pesawat terbang menjadi lebih mudah dan murah dibeli, saya pun beralih. Dan romantisme belasan jam di dalam kereta pun perlahan terlupa, kini saya siap mengulanginya lagi.

…..

Agustus 2006

Ini bukan cerita yang menyenangkan, biar saya memberitahumu terlebih dahulu. Selepas acara pernikahan kakak pertama di Yogyakarta, saya, papa, mama, bersama kedua kakak laki-laki saya lainnya dan kakak ipar serta keponakan saya yang masih berumur dua tahun kurang, menumpangi kereta api kelas ekonomi kembali menuju Surabaya. Perjalanan sekitar delapan jam saat itu berjalan lancar, kami tiba di Surabaya dengan selamat semuanya. Lalu? Lalu seminggu kemudian mama saya meninggal. Kecelakaan motor, koma selama tiga hari, dan beliaupun pergi menuju tempat keabadian. :(

Saat itu saya tertegun. Saya teringat apa yang melintas di pikiran saya saat masih berada di dalam kereta. Duduk di sebelahnya, wanita yang saya sayangi sepenuh hati, ini adalah perjalanan terakhirmu bersamanya .. mendadak ada pemikiran seperti itu yang muncul.

Saya menggelengkan kepala kuat-kuat sambil membaca buku tentang perjalanan, seolah mengulang gelengan kepala saya enam tahun lampau di dalam kereta itu. Saya menolak datangnya pemikiran aneh itu. Saya tak sudi mengamininya, walau ternyata belakangan saya ketahui itu semacam peringatan dini. Ah, tak tahulah, umur manusia ada di tangan Tuhan dan saya tak mau lancang.


Mereka terlelap, benak saya berwisata ke masa lampau.

Juli 2008

Setelah menjalani wawancara sebulan sebelumnya, saya akhirnya diterima di sebuah portal berita yang berkantor di Jakarta. Akhirnya, keinginan saya untuk meninggalkan Surabaya terjawab. Bukan apa-apa, saya bosan berada di kota itu dan ingin berkembang. Tiga belas Juli tahun dua ribu delapan, saya dan papa menumpangi kereta yang sama dengan yang saya tumpangi saat ini, bedanya adalah rute yang berkebalikan. Dari Surabaya, papa ikut mengantarkan saya hijrah ke Jakarta. Membawa tas besar berisi banyak baju dan perlengkapan sehari-hari seperlunya. Beliau adalah pria jagoan saya. Tanpa banyak bicara, beliau selalu menjawab kebutuhan saya. Sering memarahi ketika saya khilaf, namun tak mendendam. Dan di dalam perjalanan darat belasan jam waktu itu, beliau memberikan jatah kursinya untuk saya bisa tidur menyelonjorkan kaki, sementara beliau sendiri tidur di bawah beralaskan kertas koran. Saya rindu beliau, dan beliaulah alasan utama saya kembali berada di kereta seperti saat ini. :)


Saya melongok jendela. Sudah semakin larut namun saya belum mengantuk.

Paris adalah kota yang romantis. Hampir di setiap sudut jalanan didapati sepasang kekasih yang bergenggaman erat maupun berpelukan.

Urai buku yang saya baca tentang perjalanan di Eropa. Romantis. Satu kata yang mengingatkan saya akan cerita yang manis di dalam kereta, ya setidaknya untuk saat itu …

Desember 2008

Pria itu bernama Daniel. Dia sahabat saya. Bersama dia saya melalui hari-hari bosan saya di kantor baru dengan mengobrol via layanan percakapan maya. Sesekali kami berjanji untuk pergi bersama, nonton film terbaru atau sekadar makan malam dan ngobrol. Saya sudah mengenalnya sejak di dunia kampus. Walau berbeda fakultas, namun kami berada di dalam satu organisasi tingkat universitas sehingga sering bertemu. Dan semakin dekat saat saya berada di kota yang sama dengannya, Jakarta. Kami sengaja melakukan perjalanan bersama karena hendak mendatangi acara fakultas masing-masing yang kebetulan diselenggarakan di tanggal yang sama. Dia pria yang menyenangkan. Lucu, cerdas, dan telaten mendengarkan celotehan saya.

Di dalam kereta itu kami tertawa akan banyak hal. Berdiskusi seru mengenai rupa-rupa masalah. Lalu menyerah kalah pada kantuk dan sama-sama mendengarkan alunan musik dari playernya. Ia membagi salah satu alat pendengaran dengan saya, dan saya duduk merapat padanya untuk bisa mengenakan alat itu. Ia memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri saya. Saya tersenyum.

Diakah kekasih saya? Andai saja. Semuanya berubah saat saya mengutarakan perasaan padanya, beberapa bulan sejak itu. Dia mengambil jarak, hati saya terpatahkan. Anti klimaks, ya?

Ah, saya mengantuk.
..
…..


Pagi menjelang. Kereta tiba di tujuan terakhir. Saya menemuinya di pintu keluar, lalu mencium pipinya melepas rindu. Papa saya. :)


tiket kereta saya

dinoy
dalam perjalanan Jakarta - Surabaya, 15 - 16 Agustus 2012

:)





No comments: