Jika ini bukan cerita
cinta, lalu kenapa aku menangkap kilatan gundah di muka Akshara saat terduduk
di tempat favoritenya?
Jika ini bukan cerita
cinta, apakah aku salah melihat keromantisan dalam mata Bumi saat mengamati
perempuan penulis itu dalam diam?
Dan jika ini bukan
cerita cinta, akankah aku keliru mengartikan sikap cemburu yang disiratkan Koma
melalui sikap tenangnya?
Saya menikmati permainan merangkai kata dalam
kalimat yang dilakukan Windy Ariestanty dalam novella ‘Bukan Cerita Cinta’ di
buku Kala Kali ini. Dengan
kekhasannya sebagai seorang editor, ia mengajak pembaca untuk mengurai jalinan
(bukan) cerita cinta melalui baris-baris kalimat baku yang tanpa terasa menjadi
enak untuk dicerna. Dari awal cerita saya sudah mulai bisa menebak bahwa ini
adalah cerita tentang pria yang jatuh cinta kepada sahabatnya diam-diam.
Tentang si sahabat perempuan yang sibuk dalam dunia dan angannya sendiri akan
cinta, mencurahkan segala isi hati dan rahasia kegundahannya pada teman
prianya, tanpa ia sadari bahwa si pria ini menganalisanya begitu cermat.
Cinta itu tak memerlukan ukuran dan pengakuan.
Ia hadir begitu saja melalui telinga yang mendengarkan, mulut yang siap
menyorongkan kalimat sanggahan setiap orang yang dicintai bertindak tak
semestinya. Cinta itu seperti kuku jari yang kadang tampak mengganggu dan
menyakiti ketika menggores kulit, namun selalu ada dan tumbuh walau dipotong.
Cinta itu layaknya ia yang bersedia memacu kendaraan lebih cepat meninggalkan
segala kenyamanan, demi memastikan kamu akan tertidur pulas meski sedang sakit.
Cinta itu hadir tanpa tendensi, namun kuat dan mengutuhkan.
Cinta itu cukup. Dan secukup inilah saya
mengurai resensi saya tentang ‘Bukan Cerita Cinta’, novella yang membuat saya
belajar akan bahasa dari sisi yang lain. Lain kali, saya akan mencoba untuk
membuat jalinan cerita dari satu kata yang saya comot acak dari sebuah buku
kamus. ;)
dinoy
No comments:
Post a Comment