Today I don’t feel
like doing anything
I just wanna lay in my
bed
Don’t feel like
picking up my phone
So leave a message at
the tone
‘Cause today I swear I’m
not doing anything
Nothing at all
[Lazy
Song – Bruno Mars]
….
“Cheers!” kami mengangkat gelas dan botol
kami, lalu menenggak cairan yang berbeda rupa masing-masing. Bir,mocktail fruitpunch, vodka, Jack Daniel dan,,, es teh tawar. Ada
keheningan sejenak saat Arga menyebutkan minuman pesanannya. Sejenak saja, lalu
disusul tawa membahana dari kami berenam. Tidak, kami tidak hendak melecehkan
pilihannya saat kami bertujuh memiih menghabiskan tengah malam yang dihiasi
bulan bulat sempurna di salah satu bar di kawasan Sabang, Jakarta Pusat. Tidak
ada yang salah untuk tidak minum alkohol di bar, tapi teh tawar?? Cukup sudah
untuk menjadi bahan candaan bagi kami. Aku sendiri, apa pilihanku untuk
membasahi tenggorokan yang sudah mulai kering lagi malam itu? Mocktail fruitpunch, dan cukup segar
saat ditenggak. Aku tidak anti alkohol, meski bukan penggemar juga. Pernah
iseng menenggak sekaleng Heinekken
sendirian di kamar kos, demi meringankan kepala yang saat itu mendadak jengah.
Lalu terakhir bersama beberapa dari mereka juga tiga minggu lalu, saat
menghabiskan malam di Ciwidey, Bandung.
Jack Daniel, Tia Maria, dan Baileys. Adalah nama tiga bule serupa botol yang menemani kami
bertukar bicara. Aku masih mengingat jelas malam itu. Bukan bermaksud sok
menantang diri dengan minum alkohol, hanya berbaur, sambil tetap menjaga
kesadaran diri. Beberapa tuangan dari
tiga macam minuman itu, lalu aku merasa hangat di dada dan sesuatu di kepala juga.
Masih teringat ketika waktu semakin larut, botol terus menuangkan cairan-cairan
beraroma tajam, dan aku masih bertahan. Sampai obrolan menjurus cerita-cerita
pribadi, lalu aku menyerah. Mengaku kalah pada tekanan yang dirasakan oleh
kepalaku, dan diam-diam melipir dari giliran memuntahkan rahasia pribadi. Aku
melangkah pelan menuju kamar hotel dan membaringkan diri. Biarkan saja mereka
melanjutkan cerita, aku takut nanti mereka akan kecewa ketika tiba di
giliranku, yang ceritanya hanya biasa-biasa saja. Campuran ketiga bule serupa
botol tadi sukses membuatku terpejam tak lebih dari lima menit aku menyentuhkan
kepalaku ke bantal.
…
Lalu mengapa malam ini di Sabang aku hanya
memilih minuman rasa buah yang sama sekali tidak beraroma tajam? Sudah
kapokkah aku? Jawabannya adalah aku tertambat pada rasa ‘aman’. Aman yang
pertama: mengingat aku masih harus melanjutkan perjalanan pulang ke rumah kos,
maka aku tidak boleh merasa pusing di kepala. Dan kedua, adalah mengamankan
uang di dompet yang saat itu tersisa enam puluh ribu rupiah. Yah, meski kata teman-teman harga
minuman-minuman yang terasa panas di tenggorokan di bar ini tergolong sangat
murah, tapi tetap saja aku butuh uang taxi untuk pulang. Ha!
Kami bercakap-cakap tentang segalanya. Diiringi
lagu-lagu mancanegara terkini yang diputar lumayan menghentak, membuatku
spontan menggoyangkan badan sembari duduk.
“Menurut kalian, apakah roman itu masih hidup?
Masih jaman nggak sih
mempertimbangkan sesuatu dengan alasan utama ‘cinta’ ?” Rio, teman salah satu dari
kami yang lebih dulu hadir di tempat ini, melontarkan pertanyaan kepada kami
berdelapan. Di hadapannya kertas, pena, dan sebotol besar bir yang isinya masih
setengah menjadi peneman.
“I do
believe that romance still alive, but we cannot live ONLY by LOVE,” Angie
menjadi sukarelawan pertama yang menjawab pertanyaan Rio, dengan memberi
penekanan pada kata ‘hanya’ dan ‘cinta’.
“No, no,”
sanggah Rio, “Gue nggak bilang cuma makan cinta, or somekind … Lo tetap makan nasi, butuh materi, tapi masih mungkin
nggak sih mempertahankan suatu hubungan dengan dasar utama cinta?” lanjutnya.
“It’s
possible but only for temporary!” sambar Ussy cepat.
“Okay,
how long?”
“Let’s
say … three years?!”
“Dan lo udah pacaran selama…??” kali ini Arga
si pria teh tawar yang sigap menyerang jawaban Ussy.
“Tiga tahun kakak, terus putus!”
Tawa kami spontan menggelegak meningkahi suara
Katy Perry yang sedang kena giliran menghibur pengunjung lewat mesin pemutar lagu.
Aku mendekatkan sedotan ke mulut demi
menyegarkan tenggorokan dengan sari buah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling bar
yang sedang ramai-ramainya ini. Asap rokok, pria dan wanita dewasa seumuran
kami, dan cowok-cowok bule lucu, tampak sedang bercengkerama. Ada juga yang asyik menyimak pertandingan sepak bola yang ditayangkan di televisi-televisi yang terpasang di atas kepala. Ini pengalaman pertamaku ke bar, dan dengan
berusaha tak terlihat menilai, aku mengamati mereka yang menghabiskan jumat
malamnya di tempat ini. Tempat duduk kami yang berada di pojok membuatku agak
leluasa melihat mereka yang memilih singgah untuk mengobrol santai ditemani musik
dan minuman, juga makanan ringan. Beberapa terlihat mengenakan pakaian formal,
seperti habis pulang kerja, bahkan ada yang masih memakai kemeja batik. Beberapa
lainnya mengenakan pakaian dan dandanan yang sepertinya memang disengajakan
untuk datang ke tempat ini. Agak mencolok.
“Melly’s
ini memang selalu ramai, secara lokasinya strategis dan harga minumannya mure, bok!” Ussy menjelaskan dengan menyebut
nama bar yang kami pilih ini.
“Tapi alkoholnya light kok, ya, ini mah kayak sirup!” Benny menimpali.
“Well,
you got what you paid lah om, murah gini pasti udah dicampur air lah,” dengan
memutar gelas lebar pendek berisi one
shot Jack Danielnya Angie ikut berkomentar.
“Terus mereka ngapain pakai topi Sombrero gitu?”
Temmy menunjuk pelayan-pelayan yang baru kami sadari, beberapa menit belakangan
ini telah mengenakan topi lebar berwarna-warni khas Meksiko.
“Itu tandanya bentar lagi Happy Hours, Tequila only for twenty thousand, kakaaak…” terang
Uliel dan tak lama, kami mendengar semacam bunyi sirine dan pengunjung
berteriak kegirangan.
“It’s
Happy Hour time!” lalu Rio memesankan kami satu pitcher tequila yang dibalut rasa jeruk. Tak perlu menunggu lama, pesanan
Rio datang dan Benny kebagian tugas menuangkan ke beberapa gelas mungil dengan
leher tinggi. Dia menawari kami satu persatu dan “Noy, mau?” tanyanya dengan
mengangkat alis sambil memandangku. Tak banyak berpikir aku menjawab "Ok!" melupakan rasa aman yang tadi kupikirkan. Toh
ditraktir ini, cengirku dalam hati. Enam dari kami bersembilan mengangkat
tinggi gelas mungil itu, mempertemukan milik satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi berdenting...
“Cheers!”
Melly’s Bar & Resto, Sabang – Jakarta Pusat
11.00 pm ‘til 01.30 am
(Aug 31st-Sept 1st, 2012)
True story with some
fiction added, and changed in name
dinoy
J