Sumber dari sini |
“Okonomiyaki, isi crab.”
“Hah, apa?”
Cee alias Cecily mendelik mendengar menu pesananku, dan seketika gerakan tangannya menulis di kertas terhenti di udara. Aku tersenyum, lalu mengeja lagi, “O-ko-no-mi-ya-ki.”
“Makanan apa, sih, itu?” tanyanya.
“Ya makanan Jepang, lha!”
Cee memutar bola matanya sebagai reaksi atas jawabanku, tampak tidak terima.
“Ya iyalah, kita kan lagi di restoran Jepang, dear, gimana sih. Hm, whatever lah. Gue pesan sushi aja, deh, sekalian buat Evan.”
Senyum Cee terkembang saat mengucapkan nama kekasihnya, yang 15 menit lalu mengabarkan sedang menuju tempat ini dari klinik hewannya. Aku mengangkat bahu, tanda tak terlalu peduli. Sabtu malam ini, lagi-lagi aku harus jadi pihak ketiga di acara kencan Cee dan Evan. Tadinya, aku menolak dan memilih berdiam di apartemen; membaca buku, nonton film, dengerin musik, atau apa sajalah. Namun Cee mana rela, sih, melihat aku menghabiskan malam minggu garing seperti itu? Dia langsung menceramahiku panjang lebar tentang waktu berkualitas di luar rumah, dan biar aku bisa lebih mingle dengan cowok-cowok di luar sana. Tadinya saja Evan juga mengajak sahabat prianya, yang katanya hendak dijodohkan denganku, tetapi
_______
July 2008: The University of Melbourne International Student Food Festival
“Makanan apa itu?” Aku melirik penuh rasa ingin tahu pada gambar-gambar yang terpasang di stan milik para mahasiswa Jepang. Setelah berkeliling area festival sekitar satu jam untuk mencicipi berbagai jenis makanan dari berbagai negara, dan tentunya puas dengan kuliner negeri sendiri seperti lumpia, martabak, dan rawon; tiba-tiba saja Max antusias saat melihat stan yang mewakili negeri Sakura dan berhenti untuk memesan satu jenis menu.
“Ini salah satu makanan Jepang yang enak, aku suka banget makan ini pas SMP jalan-jalan ke Tokyo sama keluarga,” jelasnya. Aku manggut-manggut.
Pesanan Max sudah selesai dibuat, dia minta izin mengambil sumpit sepasang lagi ketika petugas menyerahkan pesanannya. Kami melangkah lagi menuju deretan bangku untuk menikmati makanan ini.
“Nih, cobain, namanya okonomiyaki.” Max menyerahkan sepasang sumpit padaku, lalu melepaskan sumpit sepasang lainnya untuk dirinya sendiri. Aku mulai mencicipi makanan itu, lidahku merasa asing dengan sergapan paduan bumbu yang terkecap aneh. Dahiku mengernyit.
“Kenapa? Nggak suka?” Max tertawa lepas memperhatikan reaksiku yang tampak lucu, tangan kirinya terulur mengacak ringan rambutku.
“Rasanya aneh,” cengirku. Aku terus mengunyah adonan tepung dan telur yang berisi sayur kubis dan bawang bombai, juga daging kepiting. Berusaha beradaptasi dengan cita rasa yang terkandung di dalamnya.
“Eh, tadi bukannya kamu pesan yang ada kejunya, ya?” tanyaku polos. Aku suka keju, setidaknya itu akan sedikit membuatku merasa nyaman menikmati penganan Jepang ini. Namun rasanya sedari tadi aku belum mengecap bahan pelengkap itu, deh. Max tampak mengamati sejenak isi potongan kecil okonomiyaki di hadapannya, lalu mengangkat dengan sumpit dan menyorongkannya padaku.
“Nih, ada kejunya!” Bagai anak kecil yang langsung percaya saat diberitahu ada daging di balik sayuran yang dibencinya, aku menurut saja dan membuka mulut. Max menyuapkannya untukku. Aku mengunyah potongan kecil okonomiyaki itu tanpa banyak protes.
“Sudah, ah!” Aku menyerah dan meletakkan sumpit. Makanan itu masih terasa aneh di lidahku. Max tampak memberengut sebentar sambil mengunyah okonomiyaki-nya. Lalu saat okonomiyaki tersebut tersisa satu potong kecil, Max mengangkat dan kembali menyorongkannya padaku.
“Terakhir nih... haaak!” Max bersikap lembut bagai sedang menyuapi anak kecil yang manja, dan aku, lagi-lagi spontan mangap. Kali ini, okonomiyaki itu terasa sedikit lebih enak, entah kenapa. Max memperhatikan raut wajahku yang mengunyah dengan lebih khidmat, dan sebersit senyum dia tampilkan dengan sangaat... manis. Aku meleleh.
_______
“Kok nggak habis sih, Ra? Bukannya tadi lo semangat pesennya?” goda Cee saat melihatku menyisakan sebagian okonomiyaki dan berhenti menyentuhnya.
“Rasanya aneh, hehe,” cengirku. Lidahku nggak berubah, tetap menolak makanan Jepang itu. Cee tergelak, sambil mengingatkan padahal tadi aku sendiri yang bersemangat memesan menu itu.
“Eh, jalan yuk, jadwal filmnya kan bentar lagi!” Tiba-tiba Evan menyela candaan kami, mengingatkan acara selanjutnya menuju bioskop di dekat situ. Sepuluh menit kemudian, kami bertiga sudah berjalan menyisiri trotoar di bawah langit malam Melbourne. Cee di sisiku tampak bahagia dengan mengaitkan tangannya pada lengan Evan. Sedikit saja rasa cemburu tebersit di hatiku, cepat-cepat kualihkan pandanganku ke arah lain. Prudence. Kerlip lampu bar itu tiba-tiba terasa menarik mataku.
“Cee, aku nggak ikutan nonton ya,” ucapku, membuat Cee dan Evan sontak menghentikan langkah kaki mereka dan menatapku heran.
“Heh? Lo mau pulang? Ngapain, masih jam segini....” Sudah kuduga Cee akan protes.
“Nggak, tiba-tiba aku pengin minum kopi di Prudence; pakai marshmallows dan ekstra-cinnamon, kayaknya enak deh as dessert. Sudahlah, kalian berdua saja yang nonton bioskop, masa aku mengekor terus, sih?” Aku menggoda Cee dengan meninju pelan lengan kirinya, dan seketika dia mendelikkan matanya, sekaligus tertawa.
"Ya udah, ati-ati ya, Ra, baliknya!"
Akhirnya mereka berdua sepakat melepasku, dan aku berbalik arah menuju Prudence. Aku sendiri tak tahu, kenapa aku terseret ke sini. Sejak mengecap okonomiyaki tadi, serbuan kenangan terus menyerang benakku; membuatku bahkan tak bisa fokus dengan obrolan Cee dan Evan. Kenangan yang selalu bertumpu pada pria itu, yang meninggalkanku sejak lima tahun lalu demi angan-angannya. Apa salah kalau aku bilang aku tak bisa menghabiskan okonomiyaki-ku bukan karena tak cocok dengan lidah, tetapi lebih-lebih karena aku tak mau terus-terusan merindukannya? Rasa rindu itu seperti belenggu yang hanya bisa dilepaskan dengan cara bertemu, sesuatu yang tak dapat aku upayakan saat ini. Seharusnya, aku mengenyahkan segala hal yang dapat menghadirkannya di kepalaku. Namun, kali ini ternyata aku belum juga puas menyiksa diri; aku malah memasuki tempat yang menjadi kenangan utamaku dengannya. Terserah saja, semakin kuat aku menolak, toh perasaan itu semakin mendera.
Seorang pria ramah menyambut ketika aku membuka pintu bar, dan aku melangkah pasti menuju sudut favoritku, sambil berharap tak ada pengunjung mengisi tempat itu. Pojok favorit yang dekat dengan jendela, tempat aku dan dia biasa mengobrolkan apa saja berjam-jam, tempat ternyaman yang penuh kenangan. Perasaan hangat tiba-tiba menyergap saat mendekati sudut itu, membuatku bergidik seketika.
Hatiku mencelus ketika tahu harapanku tak terkabul, karena aku melihat seorang pria dengan koper beroda di kaki meja duduk di sana. Mengisi tempat yang kuinginkan. Pria itu duduk membelakangiku, tertunduk menggenggam cangkir yang sekali lirik aku tahu berisi kopi hitam murni. Dan sebelum aku memutuskan untuk beranjak mencari tempat lain, tahu-tahu pria itu menoleh dan menatapku, memasang senyum yang, sungguh, terasa hangat bagiku.
“Laura!”
Dia berseru, aku terbelalak. Pandanganku teralih pada koper berodanya yang diberi tanda bagasi oleh sebuah maskapai penerbangan. Sebuah nama kota besar terbaca dari situ. New York. Akhirnya, aku tahu apa arti perasaan hangat yang tiba-tiba menyelimutiku tadi. Aku seketika tahu bahwa segala rindu ini ternyata tak sia-sia. Senyum tulus tersungging, dan bibirku mendesiskan namanya,
“Max....”
****
Diikutkan dalam kontes Winnadict Fanfiction Battle, yang diadakan oleh @Winnaddict, info lengkap klik: http://winnaddict.tumblr.com/
No comments:
Post a Comment