Thursday, May 30, 2013

“K..kita, berpisah?”



“K..kita, berpisah?”

Kamu tergagap mengucap suara. Aku tak tega menatapmu seperti itu. Tapi, apa daya?

“Kamu tahu kita tak bisa melawan perbedaan ini, kan. Jadi, buat apa?”

Kamu menyelidiki paras mukaku dan seketika aku merasa gentar. Padahal, aku sudah mengatur sedemikian rupa agar nadaku terdengar yakin di gendang kupingmu. Apakah, kamu menangkap keragu-raguanku?

“Tapi.. kamu mencintai aku, kan?”

Matamu… tajam, seolah mengelupas kulit ari wajahku. Duh, aku bisa apa? Tak tahukah kamu bahwa tatapan mata seperti itu justru meluluh lantakkan segala keyakinan dan ketegasan logikaku? Logika yang bahkan sudah berhasil menaklukkan nuraniku yang terus mendambamu.

“Hei, angkat wajahmu. Tatap aku. Aku ingin kita benar-benar berpisah, jika kamu sungguh-sungguh yakin.”

Seketika, aku mengangkat wajahku, melawan tatapan matamu dengan mendelik. Kulihat, kamu seakan terkejut dengan jawaban atas permintaanmu sendiri barusan.

“Mengapa!”

Aku menyentak, kamu terpana.

“Apanya?”

“Mengapa, sih, semua harus kembali pada aku? Mengapa kamu harus bertanya apakah aku yakin? Jadi kalau aku yakin, kamu akan menuruti? Kalau aku tak yakin, kamu tak mau? Bagaimana dengan kamu sendiri??!”

Kamu mundur selangkah. Tampak sangat.. sangat kaget.. dengan perlawananku.

“A..aku??”

“Iya, kamu! Kamu yang memulai semua rasa ini, tetapi sekarang semua harus bergantung pada keyakinanku??”

“Di mana kau letakkan peranmu sendiri?”

“Aku.. aku tak mau berpisah. Kamu pasti tahu itu,” ucapmu lemah.

Hah. Aku melengos. Paradoks yang selalu sama. Dari hari ke hari, menit ke menit, dan detik demi detik kita menyesap cinta. Kita tahu perasaan ini menggelegak dari masa ke masa. Tapi kita juga tahu semua ini harus ada batas akhirnya. Tak abadi. Kita tak ada keberanian cukup untuk menentang semua beda. Tidak juga aku, ataupun kamu. Hari ini, aku hanya mencoba bertindak sebagai peringan segalanya. Percayalah, ini pun tak mudah untuk kunyatakan. Tetapi, untuk apa, sih, kita memperpanjangnya? Hanya menambah luka yang terus tertoreh? Tak bisakah.. diri kita.. menjadi dewasa.. dan merelakan semuanya ? ? ?

“Hei.”

Kamu maju mendekat lagi dan memelukku. Dekapan yang ringan dan tak mengikat. Dekapan yang lain dari biasanya. Seolah, kamu sedang belajar untuk pelan-pelan melepas kepemilikanmu atasku.

“Aku tahu semua akan berakhir. Tapi… bisa tidak…,” kamu menggantung ucapanmu. Aku menunggu.

“Apa?”

Aku bertanya dari balik punggungmu, sementara kedua tanganku menggantung di samping kaki kanan kiriku. Aku memutuskan untuk tak memelukmu balik, karena takut semua keputusanku akan tergoyahkan. Lagi.

“Bisa tidak… bukan hari ini? Beri aku waktu, ya?”

Aku… hanya diam. Aku mendengar pinta pendekmu itu, tapi aku tak tahu mesti menjawab seperti apa. Aku biarkan detik menelan udara, kupandang awan yang bergantung di atas sana, sebelum akhirnya mataku terpaku pada anak-anak kecil yang bermain lincah di depanku. Tak jauh dari jangkauan mataku.

Aku ingin seperti mereka… Yang tak perlu menimbang apa juga untuk mengecap rasa. Aku pikir, cinta adalah sesuatu yang mulia, dihadirkan pada dua insan yang mungkin, sama-sama bodoh. Mengapa bodoh? Karena demi satu rasa itu, dua insan bisa mengorbankan segala dan mendobrak kenyamanan. Tapi… jika cinta itu salah, mengapa hati selalu mendambanya? Mengapa hati merindu setiap hangat peluk dan kecupan yang kamu bagi? Apakah aku bodoh? Apakah aku bebal? Tuhan …

Perlahan, kedua tanganku terangkat, menyusuri punggungmu. Lalu, kesepuluh jemariku pun terikat di atas tubuh bagian belakangmu. Aku balik mendekapmu, raga kita menyatu.

Mungkin, cinta kita memang ada batas akhirnya. Tetapi mungkin, bukan hari ini …


a fiction.

No comments: