“K..kita, berpisah?”
Kamu tergagap mengucap suara. Aku tak tega
menatapmu seperti itu. Tapi, apa daya?
“Kamu tahu kita tak bisa melawan perbedaan ini,
kan. Jadi, buat apa?”
Kamu menyelidiki paras mukaku dan seketika aku
merasa gentar. Padahal, aku sudah mengatur sedemikian rupa agar nadaku
terdengar yakin di gendang kupingmu. Apakah, kamu menangkap keragu-raguanku?
“Tapi.. kamu mencintai aku, kan?”
Matamu… tajam, seolah mengelupas kulit ari
wajahku. Duh, aku bisa apa? Tak tahukah kamu bahwa tatapan mata seperti itu
justru meluluh lantakkan segala keyakinan dan ketegasan logikaku? Logika yang
bahkan sudah berhasil menaklukkan nuraniku yang terus mendambamu.
“Hei, angkat wajahmu. Tatap aku. Aku ingin kita
benar-benar berpisah, jika kamu sungguh-sungguh yakin.”
Seketika, aku mengangkat wajahku, melawan
tatapan matamu dengan mendelik. Kulihat, kamu seakan terkejut dengan jawaban
atas permintaanmu sendiri barusan.
“Mengapa!”
Aku menyentak, kamu terpana.
“Apanya?”
“Mengapa, sih, semua harus kembali pada aku? Mengapa
kamu harus bertanya apakah aku yakin? Jadi kalau aku yakin, kamu akan menuruti?
Kalau aku tak yakin, kamu tak mau? Bagaimana dengan kamu sendiri??!”
Kamu mundur selangkah. Tampak sangat.. sangat
kaget.. dengan perlawananku.
“A..aku??”
“Iya, kamu! Kamu yang memulai semua rasa ini,
tetapi sekarang semua harus bergantung pada keyakinanku??”
“Di mana kau letakkan peranmu sendiri?”
“Aku.. aku tak mau berpisah. Kamu pasti tahu
itu,” ucapmu lemah.
Hah. Aku melengos. Paradoks yang selalu sama. Dari
hari ke hari, menit ke menit, dan detik demi detik kita menyesap cinta. Kita
tahu perasaan ini menggelegak dari masa ke masa. Tapi kita juga tahu semua ini
harus ada batas akhirnya. Tak abadi. Kita tak ada keberanian cukup untuk
menentang semua beda. Tidak juga aku, ataupun kamu. Hari ini, aku hanya mencoba
bertindak sebagai peringan segalanya. Percayalah, ini pun tak mudah untuk
kunyatakan. Tetapi, untuk apa, sih, kita memperpanjangnya? Hanya menambah luka
yang terus tertoreh? Tak bisakah.. diri kita.. menjadi dewasa.. dan merelakan
semuanya ? ? ?
“Hei.”
Kamu maju mendekat lagi dan memelukku. Dekapan yang
ringan dan tak mengikat. Dekapan yang lain dari biasanya. Seolah, kamu sedang
belajar untuk pelan-pelan melepas kepemilikanmu atasku.
“Aku tahu semua akan berakhir. Tapi… bisa tidak…,”
kamu menggantung ucapanmu. Aku menunggu.
“Apa?”
Aku bertanya dari balik punggungmu, sementara
kedua tanganku menggantung di samping kaki kanan kiriku. Aku memutuskan untuk tak
memelukmu balik, karena takut semua keputusanku akan tergoyahkan. Lagi.
“Bisa tidak… bukan hari ini? Beri aku waktu,
ya?”
Aku… hanya diam. Aku mendengar pinta pendekmu
itu, tapi aku tak tahu mesti menjawab seperti apa. Aku biarkan detik menelan
udara, kupandang awan yang bergantung di atas sana, sebelum akhirnya mataku
terpaku pada anak-anak kecil yang bermain lincah di depanku. Tak jauh dari
jangkauan mataku.
Aku ingin seperti
mereka… Yang tak perlu menimbang apa juga untuk mengecap rasa. Aku pikir, cinta
adalah sesuatu yang mulia, dihadirkan pada dua insan yang mungkin, sama-sama
bodoh. Mengapa bodoh? Karena demi satu rasa itu, dua insan bisa mengorbankan
segala dan mendobrak kenyamanan. Tapi… jika cinta itu salah, mengapa hati selalu
mendambanya? Mengapa hati merindu setiap hangat peluk dan kecupan yang kamu
bagi? Apakah aku bodoh? Apakah aku bebal? Tuhan …
Perlahan, kedua tanganku terangkat, menyusuri
punggungmu. Lalu, kesepuluh jemariku pun terikat di atas tubuh bagian belakangmu.
Aku balik mendekapmu, raga kita menyatu.
Mungkin, cinta kita memang ada batas akhirnya. Tetapi
mungkin, bukan hari ini …
a fiction.
No comments:
Post a Comment