Menonton
sebuah film selayaknya tanpa ekspektasi apa pun. Ini yang coba saya lakukan
saat menonton Rectoverso, sebuah film yang diangkat dari kumpulan prosa milik
Dewi Lestari dari bukunya yang berjudul sama. Ada 11 prosa di buku Rectoverso –
cerpen dan puisi – dan lima di antaranya di angkat dalam sebuah film. Lima cerpen
dalam satu film. Apa jadinya?
Saya
mencoba mengesampingkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur beredar di
timeline twitter dari mereka yang usai menonton film ini. Namun apa daya, pendapat-pendapat
itu sedikit banyak membuat saya menanti. Mana adegan yang membuat haru itu?
Mana cerita yang katanya menggetarkan kalbu itu? Salah ya, bukankah harusnya
menonton suatu film baru harus tanpa ekspektasi? :) Selama hampir sejam pertama saya
masih merasa film ini datar, dan saya bosan. Beberapa kali saya melirik jam
tangan untuk memastikan sudah berapa lama saya menonton.
Seperti
yang saya bilang di awal, film ini berisi 5 cerpen yang diambil dari buku
Rectoverso. Lima cerpen itu adalah: Malaikat juga Tahu, Curhat buat Sahabat,
Cicak di Dinding, Firasat, dan Hanya Isyarat. Penggabungan 5 cerpen ini dengan
cara saling sambung-menyambung di tiap adegan, tidak menunggu satu cerpen
tuntas baru cerpen lainnya. Saat tiba di bagian ‘Hanya Isyarat’, saya sempat
merasa merasuk dengan peran Al, karena diceritakan dia adalah seorang traveler. ^^ Dalam Firasat, saya mampu memahami perasaan
Senja ketika memiliki pertanda buruk akan seseorang yang disayangi, namun tak
mampu berbuat sesuatu yang berarti. Di Malaikat juga tahu, saya tahu benar
perasaan abang yang frustasi ketika kehilangan milik berharganya. Curhat buat
Sahabat mengingatkan bahwa saya pun pernah memiliki keinginan yang sederhana,
untuk disayangi. Lalu Cicak di Dinding membawa kenangan saya saat sedang asyik
mencinta namun tiba-tiba ditinggalkan. Sakit.
Sejam
pertama saya sempat merasa bosan, mungkin karena lima cerita berbeda ini masih
berusaha menyampaikan pengantar karakternya. Namun memasuki jam kedua, saya lupa
tepatnya, tapi tiba-tiba saja mata saya menjadi pedih dan mengeluarkan cairan.
Saya menangis, tersentuh. Gabungan dari konflik kelima cerita membuat saya
luruh. Musik yang menjadi penghantar membuat suasana makin melankolis. Dan akting
mereka yang sederhana serasa mewakili polemik yang saya jumpai sehari-hari.
Dalam Hanya Isyarat, Fauzi Baadilah-lah yang menjadi juaranya. Indra Birowo
yang kalem membuat Curhat buat Sahabat menyampaikan pesannya. Lukman Sardi
bermain apik menjadi pria dewasa dengan kelainan mental di Malaikat juga Tahu.
Kegelisahan yang ditampilkan Asmirandah membuat Firasat menjadi kuat, dan Yama
Carlos tepat sekali memerankan pria terluka di Cicak di Dinding.
Film
berakhir, saya pun menyeka air mata. Adegan yang klimaks membawa saya terpana.
Secara keseluruhan saya puas menonton film ini. Perasaan yang selalu tersisa
ketika saya usai menyaksikan film yang mampu mewakili perasaan saya. Cinta yang
tak terucap menjadi tagline film Rectoverso, tepat menggambarkan benang merah
kelima cerita di dalamnya. :)
dinoy
No comments:
Post a Comment