Monday, February 18, 2013

RECTOVERSO - the movie


Menonton sebuah film selayaknya tanpa ekspektasi apa pun. Ini yang coba saya lakukan saat menonton Rectoverso, sebuah film yang diangkat dari kumpulan prosa milik Dewi Lestari dari bukunya yang berjudul sama. Ada 11 prosa di buku Rectoverso – cerpen dan puisi – dan lima di antaranya di angkat dalam sebuah film. Lima cerpen dalam satu film. Apa jadinya?
 
Saya mencoba mengesampingkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur beredar di timeline twitter dari mereka yang usai menonton film ini. Namun apa daya, pendapat-pendapat itu sedikit banyak membuat saya menanti. Mana adegan yang membuat haru itu? Mana cerita yang katanya menggetarkan kalbu itu? Salah ya, bukankah harusnya menonton suatu film baru harus tanpa ekspektasi? :) Selama hampir sejam pertama saya masih merasa film ini datar, dan saya bosan. Beberapa kali saya melirik jam tangan untuk memastikan sudah berapa lama saya menonton.

Seperti yang saya bilang di awal, film ini berisi 5 cerpen yang diambil dari buku Rectoverso. Lima cerpen itu adalah: Malaikat juga Tahu, Curhat buat Sahabat, Cicak di Dinding, Firasat, dan Hanya Isyarat. Penggabungan 5 cerpen ini dengan cara saling sambung-menyambung di tiap adegan, tidak menunggu satu cerpen tuntas baru cerpen lainnya. Saat tiba di bagian ‘Hanya Isyarat’, saya sempat merasa merasuk dengan peran Al, karena diceritakan dia adalah seorang traveler. ^^ Dalam Firasat, saya mampu memahami perasaan Senja ketika memiliki pertanda buruk akan seseorang yang disayangi, namun tak mampu berbuat sesuatu yang berarti. Di Malaikat juga tahu, saya tahu benar perasaan abang yang frustasi ketika kehilangan milik berharganya. Curhat buat Sahabat mengingatkan bahwa saya pun pernah memiliki keinginan yang sederhana, untuk disayangi. Lalu Cicak di Dinding membawa kenangan saya saat sedang asyik mencinta namun tiba-tiba ditinggalkan. Sakit.

Sejam pertama saya sempat merasa bosan, mungkin karena lima cerita berbeda ini masih berusaha menyampaikan pengantar karakternya. Namun memasuki jam kedua, saya lupa tepatnya, tapi tiba-tiba saja mata saya menjadi pedih dan mengeluarkan cairan. Saya menangis, tersentuh. Gabungan dari konflik kelima cerita membuat saya luruh. Musik yang menjadi penghantar membuat suasana makin melankolis. Dan akting mereka yang sederhana serasa mewakili polemik yang saya jumpai sehari-hari. Dalam Hanya Isyarat, Fauzi Baadilah-lah yang menjadi juaranya. Indra Birowo yang kalem membuat Curhat buat Sahabat menyampaikan pesannya. Lukman Sardi bermain apik menjadi pria dewasa dengan kelainan mental di Malaikat juga Tahu. Kegelisahan yang ditampilkan Asmirandah membuat Firasat menjadi kuat, dan Yama Carlos tepat sekali memerankan pria terluka di Cicak di Dinding.

Film berakhir, saya pun menyeka air mata. Adegan yang klimaks membawa saya terpana. Secara keseluruhan saya puas menonton film ini. Perasaan yang selalu tersisa ketika saya usai menyaksikan film yang mampu mewakili perasaan saya. Cinta yang tak terucap menjadi tagline film Rectoverso, tepat menggambarkan benang merah kelima cerita di dalamnya. :)

dinoy 


No comments: