“Itu aku juga dapet dari temenku kok, kalau nggak dikasi gratis juga
nggak beli … Aku nggak yang terlalu suka sama novel Korea, sih,” tuturku saat salah seorang teman menanyakan rekomendasi
tentang novel Korea terjemahan yang sudah aku baca, “tapi ternyata isi
ceritanya memang bagus, menarik,” lanjutku. ‘So, I Married the-Antifan’ adalah
judul novel Korea –yang tentunya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia – yang
pertama kali kubaca. Seperti yang sudah kubilang, aku mendapatkannya secara
cuma-cuma dari salah seorang kawan. Aku memang bukan penggemar cerita Korea.
Aku seringkali skeptis dengan novel terjemahan, karena beberapa kali mendapati
terjemahannya kaku dan tidak enak dibaca. Mending
baca novel Indonesia aja deh, pikirku.
Tapi memang menutup diri untuk hal-hal baru
bukanlah sesuatu yang baik. Mumpung diberi gratis, ya dibaca lah, dan memang
beneran menarik. Secara obyektif, aku suka dengan cerita-cerita yang disuguhkan
di novel ‘So, I Married the-Antifan’ ini. Konflik yang menggemaskan,
adegan-adegan yang membuat kening berkerut-kerut, lalu diselipi dengan hal-hal
romantisme yang tak terduga. Membuatku akhirnya tidak kapok untuk membaca
novel-novel Korea lainnya.
‘My Name is Kim Sam Soon’, lalu ‘My Boyfriend’s
Wedding Dress’, adalah dua novel Korea terjemahan yang selanjutnya kulalap
habis. Tenggelam dalam cerita-cerita yang unik, tersenyum geli untuk
adegan-adegan yang menggemaskan, lalu berandai-andai sendiri saat tiba di
adegan roman. Well, cerita Korea
punya kekhasannya sendiri. Aku tidak hendak menguraikannya, karena tidak
terlalu ahli dalam hal tersebut. Tapi setidaknya, aku bisa menyimpulkan menurut
tiga novel Korea yang sudah kubaca.
Cerita yang agak klise tentang cowok-cewek yang
baru kenal namun lantas ‘mengikrarkan’ diri untuk menjadi sepasang musuh,
terjebak dalam perjalanan hidup yang membuat mereka masing-masing saling
menilai diri, lalu jatuh cinta satu sama lain. Kalau membaca rentetan cerita
seperti itu sih, sekilas tampaknya
membosankan, yah. Tapi alur cerita
yang baik lah yang membuat pembaca mampu bertahan dan menimbulkan rasa
kepenasaran untuk terus membacanya. Apalagi deskripsi tokoh pria yang
–khususnya untuk para wanita- langsung melambungkan angan pada aktor-aktor Korea
nan tampan. Tokoh wanitanya sendiri pun digambarkan tidak jauh dari kehidupan
sehari-hari. Bukan cewek yang hampir
sempurna dengan wajah cantik dan tubuh proporsional, namun benar-benar cewek
biasa. Dengan banyak sifat-sifat minus yang membuat si tokoh utama cewek sering
terlibat dalam masalah, namun lantas dipertemukan dengan pria tampan. Gimana
nggak mupeng, tuh? Hahaa …
Dan seperti keskeptisanku akan novel terjemahan
yang tadi kubilang, kadang-kadang aku juga menemukan terjemahan yang nggak smooth di novel Korea. Jadi kesel
sendiri kalau udah tiba di bagian itu, karena jadi nggak bisa menikmati. Tapi
kalau udah kayak gitu, bersabar aja sih dan terus membaca, karena biasanya
nggak terlalu banyak, kok. Apalagi kalau sudah tiba di bagian cerita yang
membuatku mengetahui sedikit-banyak tentang budaya Korea, menarik, tuh. Tentang
bahasa, tempat-tempat menarik, kesopanan, atau cara pria memperlakukan wanita
menurut etika di sana. Ya, pada akhirnya jadi menemukan hal lain juga selain
kepuasan membaca cerita roman.
Jadi
menurutku sih, membaca novel Korea
nggak kalah asyiknya dengan menonton langsung film Korea. Iya, aku juga bukan
penggemar film-film Korea kok, tapi ya pernah lah menonton beberapa kali, hehee
.. :)
dinoy